Dinginnya ruangan berpadu dengan bau antiseptik yang menusuk hidung. Suara bip monitor jantung menjadi satu-satunya ritme kehidupan di tengah keheningan yang menyesakkan. Tirai putih di sekeliling ranjang membatasi dunia Dhea hanya pada ruang sempit itu.
Di kursi plastik yang terasa kaku, Dika duduk terpaku. Matanya tak lepas dari sosok yang terbaring lemah di balik selimut putih. Wajah Dhea terlihat pucat, jauh berbeda dengan rona ceria yang selalu menghiasi pipinya. Alat bantu napas terpasang di mulutnya, menggantikan celotehan-celotehan "tengil" yang biasanya memenuhi hari-hari Dika.
Jemari Dika sesekali bergerak gelisah, seolah ingin meraih tangan Dhea namun ragu. Kenangan tentang tawa Dhea, lelucon-leluconnya, dan bahkan omelan-omelan kecilnya terasa begitu jauh, seperti mimpi yang mulai pudar. Setiap detik terasa begitu lambat, diisi oleh harap dan cemas yang bercampur aduk. Dika menggenggam erat gantungan kunci berbentuk kura-kura pemberian Dhea beberapa tahun lalu. Kura-kura itu, dengan catnya yang mulai mengelupas, menjadi satu-satunya koneksi fisik dengan Dhea yang "biasa".
"Hei, Tengil..." sapa Dika lirih, mencoba meniru nada bicara Dhea yang biasa mengejeknya dengan sebutan itu. Ada sedikit getaran dalam suaranya, bercampur antara kerinduan dan keputusasaan. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan. Matanya tetap terpaku pada wajah pucat Dhea.
"Tahu nggak, kantor tuh sepi banget tanpa celotehan 'ajaib' kamu. Biasanya kan ada aja ide jahilmu buat bikin ketawa orang, atau minimal bikin kesel si Pak Budi." Dika mencoba tersenyum tipis, membayangkan bagaimana Dhea dengan ekspresi tanpa dosanya berhasil membuat atasannya itu menghela napas panjang. "Kemarin aku coba niruin salah satu leluconmu ke anak-anak kantor, eh malah garing. Kayaknya emang cuma kamu yang punya 'bumbu' khusus buat bikin lawakan receh jadi pecah."
Dika terdiam sejenak, menelan ludah yang terasa pahit. Ruangan kembali sunyi, hanya suara bip monitor yang menemani. "Dhe..." lanjutnya dengan nada yang lebih serius. "Bangun dong. Aku kangen dengar kamu ngomel, kangen lihat kamu ketawa, kangen... kangen semuanya tentang kamu."
Dika menghela napas lagi, kali ini terdengar lebih dalam dan sarat emosi. Tatapannya melembut, seolah bisa melihat jauh ke dalam diri sahabatnya yang sedang berjuang. "Selama ini... kita selalu bersama. Lewat suka dan duka, ketawa dan air mata. Kamu selalu ada di sampingku, dan aku juga selalu berusaha ada untukmu. Kita sahabat terbaik, kan?"
Dika terdiam sejenak, menunggu respons yang tentu saja tak akan pernah datang dalam kondisi ini. Namun, dia tetap melanjutkan, seolah kata-katanya memiliki kekuatan untuk menembus batas kesadaran Dhea. "Tapi... ada sesuatu yang berbeda yang aku rasakan belakangan ini. Sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Mungkin aku terlalu bodoh untuk menyadarinya lebih cepat, atau mungkin aku terlalu takut untuk merusak apa yang sudah kita punya."
Suaranya mulai bergetar, dan Dika memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Ketika dia membuka mata kembali, tatapannya penuh dengan kejujuran dan keputusasaan. "Saat aku melihatmu terbaring seperti ini... aku baru benar-benar menyadari betapa berartinya kamu bagiku. Bukan hanya sebagai sahabat, Dhea. Lebih dari itu."
Dika meraih tangan Dhea yang terasa dingin di balik selimut dan menggenggamnya erat. "Mohon bangunlah. Ada banyak hal yang ingin kukatakan, yang ingin kita lakukan bersama... aku ingin bersamamu, bukan hanya sebagai sahabat."
Air mata akhirnya menetes membasahi pipi Dika, jatuh juga di punggung tangan Dhea yang masih tak bergerak. Keheningan kembali memenuhi ruangan, hanya menyisakan suara isak tertahan Dika dan bunyi bip monitor yang monoton.