Mereka tidak bertemu di dunia nyata, melainkan dalam senyap yang dipecah oleh tulisan di media sosial. Suatu malam, Lira mengunggah sebuah tulisan pendek, curahan pikirannya tentang rasa lelah yang tak terlihat. Tentang bagaimana seseorang bisa merasa sepi meski dikelilingi banyak hal.
Banyak yang memberi reaksi, tetapi hanya satu komentar yang membuatnya berhenti sejenak.
"Lucu ya, kadang yang paling lelah justru terlihat paling tenang," tulis seseorang bernama Damar.
Kalimat itu sederhana, tapi terasa seperti seseorang benar-benar membaca dan mengerti. Lira menatap komentar itu cukup lama. Ada sesuatu yang membuatnya tertarik, sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Ia membuka profil Damar, membaca beberapa unggahannya. Isinya tenang, jujur, dan terasa dekat. Hatinya bergerak tanpa alasan yang jelas.
Tak lama kemudian, ia mengirim pesan pribadi.
"Komennya tadi... rasanya tepat banget. Makasih ya, udah ngerti tanpa harus banyak tanya."
Dan dari sana, semuanya bermula.
Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Tidak ada kesan dibuat-buat. Damar menyukai cara Lira menjawab dengan jujur dan hangat, sementara Lira terpikat oleh bagaimana Damar membuat segalanya terasa ringan, meski sedang berbicara tentang luka lama.
Hari demi hari, obrolan singkat berubah menjadi malam-malam panjang yang dipenuhi cerita. Mereka saling mengirim tulisan, membahas pandangan hidup, menertawakan hal-hal kecil. Sampai pada suatu malam, Damar memberanikan diri menelepon.
"Suaramu beda dari yang kubayangkan," kata Lira sambil tertawa pelan.
"Semoga beda yang baik," jawab Damar, dengan nada yang membuat sunyi malam terasa lebih hangat.
Percakapan mereka tak pernah terasa dipaksakan. Kadang ada jeda yang panjang, tapi tidak canggung. Keduanya tahu, kehadiran dalam suara saja sudah cukup. Mereka saling menyemangati saat hari-hari terasa berat, berbagi keresahan yang tak bisa diungkapkan ke siapa pun, dan perlahan mulai merancang pertemuan.
"Aku ingin ketemu kamu," ucap Lira suatu malam. "Aku ingin tahu, apakah suara ini akan terasa sama saat kita duduk berhadapan."
"Aku juga ingin," jawab Damar. "Kita pasti bisa."
Namun hidup memiliki caranya sendiri untuk membatalkan rencana-rencana yang sudah terlanjur dipercayai. Jadwal mereka tak pernah bertemu. Satu pertemuan batal, lalu yang lainnya ikut menyusul. Waktu mulai menciptakan jarak. Percakapan menjadi semakin pendek. Telepon semakin jarang.
Lalu akhirnya, tidak ada lagi suara yang saling menyapa.
Damar masih menyimpan rekaman pesan suara dari Lira. Sementara Lira, kadang membuka kembali percakapan lama mereka. Ia membaca ulang kalimat-kalimat yang dulu membuatnya tertawa, lalu terdiam.
Mereka tidak pernah benar-benar berpisah, tapi juga tidak pernah benar-benar bersama.
Ada hal-hal yang dimulai tanpa rencana, dan berakhir tanpa perpisahan.
Seperti mereka.