Pesisir Barat, Lampung - 6 Mei 2025
Seperti hari-hari sebelumnya selama setahun terakhir, ku habiskan waktu sore hanya duduk di atas pasir pantai. Ku biarkan ombak membasahi kakiku yang letih membawa tubuh selama 40 tahun. Ku biarkan butiran pasir putih menyentuh telapak tanganku yang lelah menggenggam janji-janji palsu. Ku biarkan angin bersandar di bahuku yang penat memikul semua beban hidup. Dan ku biarkan mataku menatap senja yang indah, meski tidak seindah hidupku.
Bulan depan umurku sudah 40 tahun. Kalian ingin tahu apa pencapaian yang sudah ku dapat dengan umur segitu? Rumah, tanah, kendaraan, jabatan, uang, penghasilan, investasi? Apapun itu, aku sudah memilikinya. Bukan bermaksud sombong, tapi inilah aku hari ini. Aku sudah memiliki segalanya, kecuali satu hal yaitu pasangan. Ya, sampai detik ini aku belum menemukan jodohku. Entah apakah jodohku belum lahir, atau justru malah sudah mati.
Bukankah manusia ditakdirkan berpasang-pasangan? Bukankah setiap orang akan menemukan jodohnya? Lantas kenapa aku belum menemukan jodohku? Kenapa aku tidak tahu di mana jodohku dan seperti apa dia? Ada banyak sekali pertanyaan yang tidak bisa ku jawab seorang diri. Dan aku yakin kamu juga tidak akan bisa menjawabnya, tapi setidaknya kamu masih bisa mendengarkan ceritaku.
Sejak masih sekolah dulu, aku sudah beruntung tentang banyak hal. Teman, aku punya banyak. Akademis, aku selalu juara kelas. Harta, ayahku adalah seorang peternak yang sukses. Hanya soal perempuan yang selalu membuatku rugi dan tidak pernah beruntung.
Waktu aku masih kelas 6 SD, aku menyukai teman perempuan sekelasku. Kami bahkan sempat berpacaran waktu itu karena memang dia juga menyukaiku. Tapi kami langsung putus setelah aku tahu bahwa dia juga menyukai laki-laki lain selain diriku. Aku anggap wajar saat itu, karena memang kami masih anak-anak dan itu tergolong cinta monyet bukan?
Waktu aku kelas 1 SMP, ada seorang kakak kelas menyukaiku dan aku juga menyukainya. Walau dia lebih tua setahun dari ku, kami tetap memutuskan untuk berpacaran saat itu. Setelah setahun lebih, kami akhirnya putus karena dia selingkuh dengan laki-laki lain.
Kelas 3 SMP aku kembali berpacaran. Dan kali ini aku berpacaran dengan adik kelasku. Dua tahun kemudian, saat kami terpaksa harus LDR dia meminta putus. Alasannya karena dia tidak bisa LDR-an, padahal karena dia sudah punya simpanan. Semenjak itu, aku berkomitmen untuk tidak berpacaran lagi. Selain melelahkan, pacaran juga tidak menyehatkan badan apalagi perasaan.
Beberapa bulan setelah itu, saat ku sibukkan diri dengan belajar sambil terus menjauhi segala jenis hubungan dengan perempuan. Tiba-tiba saja ada seorang perempuan yang mendekatiku. Awalnya aku sama sekali tidak menghiraukannya. Sampai akhirnya aku tahu kalau dia tulus menyukaiku, maka ku coba untuk menerimanya. Namun kali ini ku terima hanya sebatas teman dekat bukan pacar. Karena aku akan tetap memegang teguh komitmen yang sudah ku buat.
Dua tahun berlalu. Aku sudah masuk kuliah semester pertama. Pada titik ini hubungan kami sebagai ‘teman dekat’ mulai retak. Namun aku tidak terlalu peduli, karena memang kami hanya sebatas teman bukan pacar. Dia lelah dengan perasaannya yang tak terbalas, akhirnya memutuskan menikah dengan laki-laki lain beberapa bulan kemudian. Aku pikir aku akan baik-baik saja saat mendengar berita itu, namun entah mengapa hatiku justru terasa sakit.
Apakah kalian mengira cerita ini sudah berakhir? Sayangnya belum. Ini justru masih permulaan. Masih ada beberapa potongan kisah cinta yang jauh lebih tragis. Namun akan ku ceritakan satu saja, dan ini adalah patah hati yang paling menyakitkan dalam hidupku.
Saat aku semester dua. Aku kembali menyukai seorang gadis. Kami kuliah di kampus yang sama, hanya saja berbeda jurusan. Tidak pernah saling menyapa apalagi sampai mengobrol. Bahkan selama tiga tahun kami cuma bertemu beberapa kali, itupun karena tidak sengaja berpapasan di kampus atau di jalan. Namun selama tiga tahun itu aku tetap menyukainya dalam diamku. Bukan hanya karena aku tidak berani untuk mendekatinya, namun juga karena aku masih memegang erat komitmenku untuk tidak berpacaran.
Singkat cerita, kami sama-sama lulus ditahun itu. Dia kemudian bekerja menjadi guru sementara aku mulai merintis bisnis. Aku fokus bekerja dan mengumpulkan uang agar bisa menikahinya. Setelah tiga tahun, saat tabunganku terasa sudah cukup, aku menghubunginya untuk pertama kali. Aku ungkapkan perasaanku dan bilang bahwa aku serius ingin menikahinya. Namun disinilah letak kebodohanku yang pertama, aku terlalu percaya diri kalau dia mau menerimaku. Kebodohanku yang kedua, selama enam tahun aku mengenalnya aku sama sekali tidak tahu bagaimana perasaannya. Dan benar saja, dia menolakku.
Apakah aku menyerah? Tentu saja belum. Aku mencoba berjuang sekali lagi untuk mendapatkannya. Dan selama dua tahun berikutnya aku tidak mendapatkan apa-apa kecuali penolakan darinya. Pada akhirnya, perasaan yang sudah terlanjur subur selama delapan tahun terakhir terpaksa ku kubur sedalam mungkin. Semenjak saat itu, aku benar-benar menutup rapat hatiku.
Sepuluh tahun berlalu. Aku yang menghabiskan seluruh waktu ku untuk fokus berbisnis dan mengembangkan usaha ku akhirnya membuahkan hasil. Bisnis ku berjalan lancar dan usaha ku maju pesat. Aku memiliki penghasilan ratusan juta setiap bulannya. Aku sebenarnya sudah bisa santai dengan penghasilanku yang sekarang, namun semua itu tidak ku lakukan. Aku akan tetap memperlelah tubuhku dan menghabiskan waktuku untuk bekerja sehingga tidak ada lagi waktu untuk berhubungan dengan wanita manapun. Namun, setelah dua tahun berlalu lagi. Barulah aku sadar. Bahwa hidupku yang kelihatan mewah ini sejatinya terasa kosong, sepi, dan hampa. Aku sadar bahwa aku butuh pasangan yang bisa menemani di usiaku yang tidak muda lagi.
Maka disinilah aku setahun terakhir. Sambil membuka bisnis perhotelan dan resor, aku juga membuka hatiku yang sudah belasan tahun terkunci. Aku mulai berkenalan dengan beberapa wanita yang mencoba mendekatiku, namun semuanya ku tolak karena mereka hanya menyukai hartaku bukan aku. Maka ku coba mulai memperbaiki diri dan ibadahku yang berantakan selama ini. Semoga dengan itu Allah memudahkan aku bertemu dengan jodohku. Adapun mengenai pertanyaanku tentang kenapa aku belum menemukan jodohku, sampai detik ini aku masih belum bisa menemukan jawabannya. Namun tidak mengapa, setidaknya sekarang aku tahu kemana aku harus memintanya. Tentu saja kepada Allah Yang Maha Kuasa.
Karena azan Maghrib sudah selesai berkumandang 15 menit yang lalu, aku memutuskan pulang ke hotel ku yang tidak jauh dari pantai. Aku berjalan pelan sambil menikmati sejuknya angin laut. Dan tanpa aku sadari, ada seorang gadis yang melihat ke arahku dan sudah memperhatikanku selama enam bulan terakhir.