Langit sore itu muram. Begitu pula hati Emeli.
Ia duduk di sudut kamar nya yang sempit,di rumah kost yang lebih mirip kotak kardus besar ketimbang tempat tinggal. Dinding triplek retak di sana sini,kasur tipis menempel langsung di lantai, dan kipas angin tua berdengung lirih seperti ikut bersedih bersamanya.
Hari itu ia baru saja di tinggal kekasih nya. Tiga tahun menjalin hubungan,tapi cowok itumemilih wanita lain yang lebih mapan. Bukan hanya itu, papa nya pun meminta ia berhenti kuliah padahal sudah semester lima. " Kamu berhenti saja kuliah nya , papa sudah tidak sanggup membiayai kuliah kamu" ucap papa nya dengan nada dingin yang membuat Emeli tak bisa bernafas.
Dan lebih menyakitkan ia baru tahu , papanya punya wanita lain. Ibunya hanya diam ,terluka tapi tak bisa melawan.
Emeli ingin menyerah ,tapi ia tahu satu satunya hal yang tak bisa di rampas dari hidup nya adalah pendidikan.
Setiap hari Emeli bangun pukul lima , mencuci baju dengan tangan, menyetrika seragam praktek mengajar yang sudah mulai pudar warnanya dan sarapan seadanya. Kadang hanya roti kering dan teh manis. Ia jalan kaki hampir satu kilometer ke kampus kalu kesekolah tempat praktek mengajar,ia naik oplet murah yang sempit dan bau menyengat. Tapi ia tak peduli.
Teman temannya kerap memanfaatkan kebaikan hati Emeli. Mereka menyuruh nya membuat RPP, menggantikan tugas persentase, bahkan menitip absen. Tapi Emeli tetap mengerjakan walu kadang tangis nya jauh di tengah malam sambil menulis di laptop pinjaman yang baterai nya sudah Soak.
Ia bertahan bukan karena tidak ingin menyerah,tapi karena tahu ia tidak punya pilihan selain maju.
Ada hari hari diana ia hanya makan sekali. ada hari ia menangis di toilet kampus, pura pura sedang menelepon. Tapi ad pula ia mendapat senyum hangat dari anak anak tempat ia mengajar " kak Emeli canti ya?" Atau "kak jangan indah sekolah ya!" Itu yang membuat hati nya tetap hidup.
Dua tahun kemudian berlalu .
Hari itu, Emeli berdiri di atas podium kecil dalam sebuah wisuda di sebuah universitas negeri di kotanya . Wajahnya bersinar , bukan karena make-up tapi karena air mata menari nari di matanya .
Ia lulus dengan pujian , ibunya duduk di bangku tamu , menunduk menangis diam diam.
Papa tak datang
Tapi Emeli tak lagi sedih ,ia tahu dirinya telah menang . Ia berdiri dengan kaki sendiri . Berjalan dengan luka, dan sampai di garis depan dengan kepala tegak.
Di tangan kanannya ia menggenggam ijazah.
Di tangan kirinya, ia menggenggam harapan untuk menjadi guru yang tidak hanya mengajar,tapi juga menginspirasi.
Langit sore itu masih muram , tapi hati Emeli terang.
Ia tahu langitpun akan cerah pada waktunya.
Selesai