Bima bukan anak yang suka bicara panjang lebar. Tapi dia selalu mendengar. Dan dari caranya mendengar, saya tahu dia menyimpan dunia di kepalanya—dunia yang tidak banyak ditunjukkan, tapi terasa kalau kita duduk cukup lama di sebelahnya.
Kadang saya lupa bahwa dia tumbuh di tengah dua orang dewasa yang lebih sering tenggelam dalam urusan ‘waras’. Tapi dia tidak pernah protes. Dia hanya menulis. Kadang di tisu. Kadang di balik kwitansi. Kadang di punggung kalender bekas.
Pagi itu, saya menemukan satu puisi pendek tertinggal di meja makan. Tulisannya: “Rumahku gak besar. Tapi cukup buat dua orang bingung dan satu anak yang ngerti diem.”
Saya tidak menangis. Tapi saya duduk cukup lama di kursi itu. Lama sekali. Sampai Reza datang dan ikut duduk tanpa kata.
Kami mulai menyadari bahwa Bima bukan hanya anak yang diam. Dia anak yang menyerap. Dan mungkin karena itulah, dia tidak pernah membantah keras. Tapi juga tidak pernah benar-benar meminta.
Reza dan saya sepakat membuat satu waktu khusus tiap minggu: Satu Malam, Satu Duduk. Kami bertiga duduk di teras atau ruang tengah. Tidak ada HP. Tidak ada nasihat. Hanya satu pertanyaan: “Minggu ini, apa yang paling bikin kamu mikir?”
Malam itu Bima jawab, “Aku mikir... gimana caranya ngerti orang dewasa kalau mereka sendiri bingung sama perasaannya.”
Saya dan Reza saling menatap. Karena di pertanyaan itu, kami seperti bercermin.
Kami memberi Bima satu papan tulis kecil di kamarnya. Awalnya dia tidak banyak menulis. Tapi perlahan, papan itu jadi tempat kami semua mengintip dunia dari matanya.
Suatu pagi, dia tulis: “Hari ini aku gak pengen dijelasin. Cuma pengen dipeluk.”
Saya langsung masuk ke kamarnya dan memeluk dia tanpa tanya apa pun. Dia tidak menangis. Tapi saya bisa rasakan dadanya lega.
Beberapa minggu kemudian, saya ajak Bima ke RSJ lagi. Kali ini dia bawa catatan kecil. Katanya ingin membacakan puisi kalau diizinkan.
Saka menyambutnya dengan gaya sok serius. “Selamat datang, Penyair Cilik dari Rumah Sambil Duduk.”
Di ruang kumpul, Bima berdiri di depan lima pasien yang sedang dalam fase pemulihan. Ia membaca dengan suara tenang:
“Kalau kamu capek, duduklah di sampingku. Aku gak janji bisa ngerti, tapi aku janji gak ninggalin kamu waktu kamu bingung.”
Salah satu pasien menangis pelan. Yang lain bertepuk tangan. Saka menunduk seperti sedang sembunyikan air mata.
Hari itu saya tahu, Bima bukan hanya anak yang bertumbuh. Dia juga mulai menyembuhkan. Tanpa menggurui. Tanpa menyuruh.
Di perjalanan pulang, saya tanya, “Kamu gak takut waktu baca puisi tadi?”
Dia menjawab, “Takut. Tapi lebih takut kalau gak pernah bilang apa yang sebenarnya aku rasain.”
Dan saya belajar lagi, bahwa jujur itu bukan tentang seberapa banyak kita bicara. Tapi seberapa berani kita membuka pintu perasaan sendiri dulu.
Beberapa minggu setelah rutinitas kecil kami berjalan, Bima membawa satu kotak kardus ke meja makan. Ia bilang, “Ini folder-folder puisi dan catatan yang gak sempat aku baca keras-keras. Tapi aku mau kalian baca. Kapan pun. Gak harus semua.”
Saya dan Reza membukanya malam itu. Isinya bukan hanya puisi. Tapi juga ilustrasi kecil, potongan percakapan yang ia dengar, dan kadang... kalimat refleksi yang terasa seperti ditulis oleh seseorang yang lebih tua dari usianya.
Satu halaman ditulis besar: “Kalau Ayah dan Ibu belajar dari pasien-pasien di RSJ, aku belajar dari kalian yang terus pulang meski gak pernah benar-benar selesai.”
Reza terdiam cukup lama setelah membaca itu. Lalu ia menuliskan satu kalimat di papan dapur, lebih panjang dari biasanya:
“Kalau kamu anakku, berarti kamu juga guru terbaikku.”
Bima cuma nyengir. Tapi saya tahu, senyuman itu adalah penerimaan. Dan dalam keluarga kami yang dulu banyak senyap, itu adalah teriakan kemenangan.
Satu malam, saya duduk di kamar Bima. Kami ngobrol ringan tentang tugas sekolah, makanan kantin, dan teman yang suka corat-coret kursi.
Lalu saya tanya, “Bim, kamu pernah takut gak, kalau suatu hari kamu ngerasa sendirian banget?”
Dia jawab pelan, “Pernah. Tapi sekarang gak terlalu. Soalnya... aku tahu kursi di meja makan kita udah gak ada yang berdiri terlalu cepat.”
Saya tertawa pelan. Lalu peluk dia. Dan saya tahu, dia tidak sedang bicara soal kursi. Dia sedang bicara soal kami. Bahwa kini kami benar-benar duduk bersama. Dan mendengar, tanpa terburu-buru lari ke tugas berikutnya.
Satu malam, saat hujan deras, listrik padam mendadak. Kami bertiga menyalakan lilin dan duduk di ruang tengah. Bima mengeluarkan buku puisinya dan membaca satu yang belum pernah dia tunjukkan.
“Judulnya ‘Kalau Aku Besar Nanti’. Isinya kayak gini,” katanya.
“Kalau aku besar nanti, aku pengen rumahku punya dapur yang rame tapi gak berisik. Meja makan yang gak harus rapi, tapi selalu ada tempat kosong. Dan satu kursi... buat orang yang mau diam tanpa ditanya.”
Saya tidak bisa berkata apa-apa. Reza menatap saya. Kami tahu, di kalimat itu, ada refleksi tentang rumah kami yang lama tak kami sadari.
Bima melanjutkan, “Aku gak tahu harus kerja apa nanti. Tapi aku tahu aku pengen belajar jadi orang yang gak buru-buru nyimpulin orang lain.”
Setelah dia selesai, kami hening cukup lama. Tapi itu bukan hening yang canggung. Itu hening yang penuh makna.
Reza pelan-pelan mendekat dan memeluk Bima. “Kamu udah ngajarin Ayah dan Ibu banyak hal. Dan kamu boleh terus jadi kamu. Nanti pun kalau kamu berubah, rumah ini gak akan pindah.”
Malam itu kami tidur lebih awal. Tapi hati saya seperti baru dibangunkan oleh cahaya kecil di dalam rumah kami sendiri.
Keesokan paginya, saya duduk di meja makan dan menulis satu catatan di bawah piring Bima.
“Kamu mungkin belum dewasa. Tapi kamu sudah tahu cara jadi manusia.”
Minggu pagi, Bima minta sesuatu yang tidak biasa. Ia ingin kami bertiga menulis surat untuk diri sendiri di masa depan.
“Tapi suratnya gak boleh isinya janji,” kata Bima. “Harus cuma cerita. Tentang hari ini, tentang hal kecil yang kita syukuri.”
Kami setuju. Kami duduk di ruang tengah, masing-masing dengan kertas kosong. Tidak ada yang tahu isi surat siapa pun. Tapi saya tahu, ini bukan tugas sekolah. Ini latihan mengenali diri sendiri.
Saya menulis tentang pagi yang tenang. Tentang teh manis buatan Reza. Tentang suara Bima saat membaca puisi. Tentang betapa saya tidak lagi merasa harus jadi perempuan yang tahan segalanya.
Reza menulis tentang jemuran yang kering tepat waktu. Tentang tawa di meja makan. Tentang dirinya yang akhirnya bisa bilang 'aku gak tahu' tanpa malu.
Bima menulis paling sedikit. Tapi paling tajam.
“Hari ini aku merasa cukup. Gak semua pertanyaan dijawab. Tapi aku tahu aku didengerin.”
Kami melipat surat itu. Menyimpannya di kotak kecil. Tidak untuk dibaca ulang dalam waktu dekat. Tapi sebagai pengingat: bahwa kami pernah hadir, penuh, utuh, meski sederhana.
Sebelum tidur, saya menatap mereka berdua. Anak dan suami saya. Dan saya tahu, meski hidup tidak menawarkan solusi cepat, kami telah menciptakan satu hal yang sangat langka: rumah yang mau tumbuh bersama.
Dan dalam hati saya, saya bisikkan satu kalimat: “Terima kasih, Bima. Karena lewat kamu, kami belajar bahwa waras itu bukan pencapaian. Tapi perjalanan. Yang boleh pelan, asal tidak sendirian.”
Beberapa hari setelah itu, saya dan Reza menemukan satu kotak kecil berisi kumpulan tulisan Bima yang belum pernah kami lihat. Dia menyimpannya di bawah rak buku, terselip rapi di antara koleksi komik dan kamus bahasa Inggris.
Kami buka pelan-pelan. Di dalamnya ada catatan harian, potongan kalimat, bahkan coretan sederhana seperti: 'Kalau hari ini jelek, besok coba lagi. Tapi pelan-pelan.'
Reza membaca satu kertas dan langsung menunduk lama. Saya tahu dia sedang berusaha menyerap semuanya tanpa terlihat terlalu tersentuh.
“Ini... dia nulis ini waktu kita bertengkar soal hal kecil, ya?” tanya Reza pelan, sambil menunjuk catatan bertanggal minggu lalu.
Di kertas itu tertulis: “Kadang aku cuma pengen Ayah Ibu diem dulu. Nggak nambahin suara. Biar pikiranku bisa pelan.”
Kami terdiam. Rasanya seperti ditampar pelan tapi dalam. Bukan karena marah. Tapi karena sadar, Bima lebih peka dari yang kami kira.
Saya menulis balasan di buku itu. Tidak berharap dibaca langsung. Tapi berharap Bima tahu: kami melihatnya.
“Maaf kalau kami kadang terlalu sibuk jadi dewasa, sampai lupa kamu juga sedang tumbuh. Terima kasih udah nunggu kami pelan-pelan.”
Malam itu, kami bertiga duduk lagi di ruang tengah. Reza menawarkan satu ide gila: membuat buku kecil dari tulisan-tulisan Bima.
“Kita salin, kita cetak seadanya, terus kasih ke pasien-pasien RSJ yang udah pulih. Supaya mereka tahu... bahkan anak sepertimu pun bisa jadi suara untuk banyak orang.”
Bima kaget. Tapi matanya berbinar. “Beneran?”
“Beneran,” kata Reza. “Tapi kamu harus bantu pilih judulnya.”
Bima berpikir sebentar, lalu menjawab: “Judulnya... ‘Kalau Kamu Capek, Duduk Dulu’.”
Saya menutup mata, menahan haru. Karena judul itu... adalah cermin dari semua perjalanan kami.
Dan saat kami bertiga mulai menyusun halaman-halaman itu malam demi malam, saya tahu: ini bukan sekadar proyek keluarga. Ini adalah cara kami bertiga saling sembuh. Bukan karena sudah selesai, tapi karena kami mulai berjalan berdampingan.