Namanya Laras. Usianya dua puluh satu tahun, tapi tubuhnya bergerak seperti perempuan yang sudah lelah menjalani hidup dua kali lipat dari usianya. Rambutnya panjang, dibiarkan kusut tanpa peduli. Matanya cekung, selalu mencari sesuatu yang tak pernah ia temukan: kedamaian.
Dulu, Laras adalah gadis kecil yang ceria. Ia punya tawa yang bisa membuat orang dewasa lupa pada masalah. Setiap sore, ia menari di bawah matahari—mengangkat tangan, memutar tubuhnya, seperti tak ada luka di dunia ini.
Tapi semuanya berubah ketika ia berusia sepuluh.
Kakaknya, Adit, delapan tahun lebih tua, yang dulu menggendongnya saat kecil, mulai masuk ke kamarnya di malam hari. Awalnya hanya memeluk. Lalu mulai menyentuh. Sampai akhirnya Laras tak lagi bisa membedakan mana rumah dan mana neraka.
Ia ingin bercerita. Tapi kepada siapa? Ibunya sibuk menata rumah agar tampak sempurna di mata tetangga. Ayahnya jarang pulang, lebih senang menghabiskan waktu di luar kota. Dan ketika akhirnya ia mencoba berbisik pada ibunya suatu sore, perempuan itu hanya berkata, "Kamu mungkin salah paham. Kakakmu itu sayang sama kamu."
Malam-malam Laras menjadi lebih gelap dari seharusnya. Ia belajar memisahkan pikirannya dari tubuhnya. Ia belajar menangis tanpa suara, belajar bernapas pelan agar dunia tak tahu ia sedang berteriak.
Lima tahun berlalu. Luka itu tetap tinggal. Bahkan ketika Adit kuliah dan pindah ke luar kota, trauma itu seperti benalu yang tumbuh dalam kepalanya. Saat teman-temannya mulai mengenal cinta, Laras takut disentuh. Saat yang lain mulai bermimpi, Laras hanya ingin tidur panjang dan tak bangun lagi.
Ia mencoba bunuh diri pertama kali di usia tujuh belas. Ditemukan ibunya di kamar mandi, pergelangan tangan penuh luka dangkal. Laras dibawa ke rumah sakit. Tapi yang dibicarakan keluarganya bukan soal trauma—mereka hanya bilang Laras sedang "mencari perhatian".
Sejak itu, Laras belajar menutup rapat-rapat lukanya. Ia menjalani hari seperti boneka—tersenyum saat diminta, tertawa saat perlu. Tapi di dalam, ia mati perlahan.
Hingga suatu hari, di bangku kuliah, ia bertemu seorang dosen perempuan bernama Bu Rani. Perempuan itu punya mata yang hangat dan suara yang tak pernah menghakimi. Ketika Laras suatu kali terlambat masuk dan duduk di ujung kelas dengan mata sembab, Bu Rani tidak marah. Ia hanya berkata, “Kalau kamu butuh ruang aman, kamu bisa bicara denganku. Aku tidak akan menilai.”
Kalimat itu kecil. Tapi bagi Laras, seperti api kecil yang menyala di tengah gelap. Butuh waktu lama baginya untuk percaya. Tapi pada akhirnya, Laras bercerita. Pelan-pelan. Satu potong luka demi satu potong luka. Dan untuk pertama kalinya, seseorang mendengarkan tanpa menyalahkan.
Laras mulai terapi. Awalnya seminggu sekali. Kadang ia hanya duduk dan diam selama satu jam. Tapi perlahan, ia mulai menangis. Lalu bicara. Lalu menulis. Ia menulis setiap malam—tentang tubuh yang tidak salah, tentang jiwa yang hancur tapi masih bernapas, tentang gadis kecil yang dikhianati oleh orang yang seharusnya melindunginya.
Dia tidak langsung sembuh. Tidak juga jadi kuat dalam semalam. Tapi setiap kali ia menatap cermin dan berani menyebut namanya sendiri, itu adalah kemenangan.
"Aku Laras," bisiknya suatu malam. "Aku bukan luka. Aku bukan aib. Aku bukan milik siapa-siapa. Aku adalah aku. Dan aku masih di sini."
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Laras mematikan lampu sebelum tidur.