Pagi itu, kabut menggantung rendah di atas permukaan Danau Toba. Udara dingin menyelimuti desa Tuk Tuk, di Pulau Samosir, ketika Dira turun dari angkot tua yang membawanya dari Parapat. Ia menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma tanah basah dan danau yang khas. Ia kembali bukan untuk liburan, tapi untuk menemukan kebenaran.
Setahun lalu, adiknya, Rama, menghilang saat melakukan penelitian budaya Batak di sekitar danau ini. Polisi menutup kasusnya sebagai kecelakaan—konon Rama tergelincir dan tenggelam. Tapi Dira yakin, ada yang disembunyikan.
Di tangan kirinya tergenggam buku catatan kecil milik Rama, yang dikirimkan secara anonim ke rumah mereka di Jakarta tiga bulan lalu. Di halaman terakhir tertulis kalimat yang membuat bulu kuduk Dira berdiri: "Mereka bilang aku tak boleh masuk gua itu. Tapi aku yakin, jawabannya ada di dalam."
**
Dira menyewa kamar kecil di penginapan tepi danau, milik seorang janda tua bernama Mak Lusi. Rambutnya sudah seputih salju, matanya tajam dan curiga.
“Kau keluarga Rama, ya?” tanya Mak Lusi malam itu.
Dira mengangguk.
Mak Lusi diam sejenak. “Dia anak baik. Tapi terlalu penasaran.”
“Kau tahu ke mana dia pergi terakhir kali?”
Wanita tua itu memandang ke arah danau yang sunyi. “Ke Gua Sigale-gale. Tapi tak ada orang yang berani masuk ke sana setelah matahari terbenam. Tempat itu... bukan tempat manusia.”
**
Pagi berikutnya, Dira menyusuri jalan setapak yang menuju ke Gua Sigale-gale, ditemani seorang pemuda lokal bernama Ucok, yang bersedia mengantar dengan syarat mereka kembali sebelum sore.
“Orang-orang percaya, gua itu dihuni roh marah,” kata Ucok sambil menunjuk celah batu yang tertutup rimbunan akar.
“Roh siapa?”
“Konon, roh anak raja yang mati muda. Ia dikubur hidup-hidup karena kutukan. Setelah itu, muncul boneka Sigale-gale yang bisa menari sendiri saat malam purnama.”
Dira tersenyum sinis. Ia tak percaya takhayul. Tapi saat mereka mendekati gua, hawa dingin menyergap seketika. Langit mendadak mendung, dan burung-burung berhenti berkicau.
“Jangan masuk terlalu dalam,” Ucok memperingatkan. “Aku tunggu di luar.”
Dira menyalakan senter dan melangkah masuk ke dalam kegelapan.
**
Langkahnya menggema. Di dinding gua, terdapat ukiran kuno berbentuk manusia menari, wajahnya datar dan matanya melotot. Di ujung lorong, ia menemukan ruangan kecil berbentuk lingkaran. Di tengahnya, berdiri sebuah boneka kayu setinggi manusia dewasa—Sigale-gale.
Boneka itu terlihat seperti manusia sungguhan. Matanya seolah mengikuti Dira, dan mulutnya sedikit terbuka. Dira mendekat, mencoba merekamnya dengan kamera ponsel.
Tiba-tiba, terdengar suara lirih, seperti nyanyian dari masa lalu.
"O anakku... jangan tinggalkan ibu..."
Dira membeku. Lagu itu... sama seperti yang sering dinyanyikan ibunya saat mereka kecil.
“Siapa di sana?” Dira berseru. Tak ada jawaban, hanya gema suaranya sendiri.
Ia mundur beberapa langkah, dan baru menyadari bahwa jalan masuk telah tertutup batu runtuh. Panik mulai merayap di dadanya.
Kemudian, boneka Sigale-gale bergerak. Tangannya perlahan terangkat. Matanya berkedip. Bibir kayunya bergerak.
“...Dira...”
Suara itu suara Rama.
**
Tiba-tiba, seberkas cahaya muncul di dinding gua. Seperti proyeksi, menampilkan gambar samar—seorang pemuda berambut keriting sedang menulis di buku catatan. Rama.
“Kalau kau melihat ini, berarti kau berhasil masuk ke sini,” suara Rama terdengar dari entah mana. “Mereka mengurungku. Tapi bukan tubuhku—rohku. Boneka ini adalah penjara. Aku mencoba mengungkap rahasia kuno Samosir... tapi aku dihukum.”
Dira nyaris tak bisa bernapas.
“Carilah batu bulus—batu hitam mengilap dengan ukiran naga. Letakkan di dada Sigale-gale. Itu satu-satunya cara membebaskanku.”
**
Dengan senter yang nyaris kehabisan baterai, Dira mengobrak-abrik lantai gua, mencari batu yang dimaksud. Tak lama, ia menemukan sesuatu tertanam di sudut ruangan: batu hitam oval dengan ukiran halus berbentuk naga meliuk.
Dengan gemetar, ia meletakkannya di dada boneka.
Boneka itu bergetar. Ruangan bergemuruh. Cahaya menyilaukan meledak dari dalam boneka, lalu semuanya gelap.
**
Ketika Dira membuka mata, ia sudah berada di luar gua, rebah di tanah. Ucok berlari menghampiri, panik.
“Kau pingsan hampir satu jam! Aku hampir lari ke desa memanggil orang!”
Dira menoleh ke arah gua. Pintu masuknya kembali tertutup rapat, seolah tak pernah terbuka. Tapi di tangannya, ada buku catatan Rama, yang semestinya tertinggal di Jakarta.
Ketika membukanya, halaman terakhir berubah. Kini tertulis:
"Terima kasih, Dira. Aku bebas."
**
Beberapa bulan kemudian, Dira kembali ke Jakarta. Kasus hilangnya Rama resmi ditutup. Tapi setiap malam bulan purnama, ia bermimpi melihat danau yang sunyi, dan boneka Sigale-gale yang menari... dengan wajah yang tak lagi asing.