Namaku Raya, dan aku percaya cinta pertama datang di saat yang paling tak terduga—seperti ketika aku duduk di bangku paling pojok kelas 11 IPA 2 dan menemukan sepucuk surat tanpa nama di bawah bangku.
"Hai kamu yang suka menyendiri, aku sering memperhatikanmu dari belakang. Kamu selalu baca buku, kadang senyum sendiri. Aku suka caramu diam."
—Pengagummu
Aku berpikir itu hanya lelucon. Tapi keesokan harinya, ada surat lagi.
"Hari ini kamu pakai sweater biru ya? Aku rasa kamu cocok pakai warna itu. Aku duduk dua baris di belakangmu. Tebak aku siapa?"
Mulai dari situ, surat-surat itu datang setiap dua hari sekali. Isinya sederhana, kadang lucu, kadang penuh puisi canggung. Tapi surat-surat itu membuat jantungku berdebar, membuat aku jadi lebih semangat datang ke sekolah.
Sampai suatu hari, aku membalas surat itu.
"Aku tidak tahu siapa kamu. Tapi surat-suratmu membuat hariku lebih terang. Terima kasih, ya. Kalau kamu berani, ayo bertemu. Di belakang perpustakaan, jam istirahat."
—Raya
Aku menunggu di belakang perpustakaan, menahan gugup seperti sedang ikut ujian nasional. Tapi tak ada siapa pun. Sampai menit ke-15, aku hendak pergi.
“Raya?”
Suara itu membuatku berbalik.
Itu Gani.
Cowok tinggi, pendiam, yang duduk dua baris di belakangku. Tak pernah banyak bicara, selalu tampak sibuk dengan laptopnya.
“Aku yang nulis suratnya,” katanya. Wajahnya memerah. “Maaf kalau aneh.”
Aku terdiam. Bukan karena kecewa—tapi karena jantungku benar-benar tak bisa tenang. Aku tak pernah benar-benar memperhatikan Gani. Tapi sekarang, matanya yang hangat dan senyum kecilnya membuatku… merasa aman.
“Kenapa aku?” tanyaku.
Dia menggaruk kepala. “Karena kamu beda. Kamu gak ikut-ikutan yang lain, tapi kamu punya dunia sendiri. Aku pengin jadi bagian dari dunia itu, kalau kamu izinkan.”
Dan hari itu, kami duduk berdua di bangku panjang belakang perpustakaan. Tanpa surat. Tanpa jarak. Hanya kami berdua dan senyuman kecil yang berarti, “kita mulai dari sini, ya?”
---
Kini, lima tahun kemudian, aku menulis ulang surat pertama itu. Tapi kali ini, untuk dibacakan di pelaminan.
"Hai kamu yang dulu suka menyendiri, kini kamu jadi temanku seumur hidup. Terima kasih sudah memperhatikanku diam-diam, mencintaiku perlahan, dan akhirnya… bersamaku selamanya."
Cinta pertama memang tak selalu bertahan.
Tapi kalau kamu cukup berani untuk membalas suratnya, siapa tahu… itu jadi cinta terakhir juga.