Hari itu, hujan turun deras saat Nayla membuka pintu rumah warisan neneknya di desa Cibitung. Rumah itu sudah bertahun-tahun kosong, menyimpan debu dan kenangan yang tak pernah ia alami. Neneknya meninggal dua minggu lalu, dan karena tak ada keluarga lain, Nayla diminta datang untuk mengurus properti peninggalan itu.
Rumah kayu itu berdiri kokoh meski lapuk dimakan waktu. Derit pintu dan aroma kayu tua menyambutnya begitu ia masuk. Ruangan demi ruangan ia jelajahi, sampai akhirnya ia menemukan tangga kecil menuju loteng. Rasa penasaran mendorongnya untuk naik.
Loteng itu gelap dan pengap. Namun, di tengah-tengah ruangan, Nayla menemukan sebuah lukisan besar yang tertutup kain putih.
Ia menarik kain itu pelan-pelan.
Wajahnya menegang.
Itu adalah potret dirinya.
Rambut panjang, senyum kecil, bahkan tahi lalat kecil di bawah mata kanan—semuanya sangat mirip dirinya. Tapi ada yang aneh.
Di lukisan itu, matanya menangis darah.
Nayla bergidik. Ia tidak ingat pernah berpose untuk lukisan seperti itu. Siapa yang melukisnya?
Ia berbalik hendak turun, namun suara lirih memanggilnya dari belakang.
“Nayla…”
Ia menoleh.
Tak ada siapa pun.
Jantungnya berdetak kencang.
Esok harinya, Nayla bertanya pada Pak Darto, tetua desa. Saat ia menunjukkan foto lukisan itu, wajah lelaki tua itu langsung pucat.
“Itu bukan kamu… itu Rara.”
“Siapa Rara?”
“Adik kembar ibumu. Dia meninggal saat berumur delapan tahun. Terjatuh dari loteng yang sama. Nenekmu menyuruh semua orang melupakan dia. Katanya, Rara tidak pernah ada.”
Nayla terdiam. Ia merasa tubuhnya menggigil. Seolah lukisan itu bukan sekadar gambar, tapi pintu ke sesuatu yang telah lama tersembunyi.
Malam itu, ia kembali ke loteng. Dan lukisan itu… berubah.
Wajah Rara—yang persis wajahnya—tersenyum lebih lebar, namun mata tetap menangis darah. Di bawah lukisan itu kini tertulis dengan cat merah:
“Akhirnya kamu datang, Kakak…”
Nayla mundur panik, tapi kakinya terpeleset dan ia terjatuh—sama seperti Rara dulu.
Namun, anehnya, ia tidak jatuh ke lantai loteng.
Ia terbangun di kamar yang asing, dipenuhi mainan anak-anak dan boneka tua. Di depan cermin, ia melihat pantulan wajah… Rara.
Dan dari dunia nyata, orang-orang hanya menemukan loteng kosong—dan lukisan yang kini menampilkan dua gadis kembar berdiri berdampingan.
Keduanya menangis darah.