Aku masih ingat tanggalnya ,17 Juni. Hari ketika semua yang ku pikir akan abadi ,hancur seketika . Sore itu, hujan turun pelan pelan , seperti mengerti isi hati ku yang remuk,dan langit mendung seolah ikut berduka bersamaku.
Namanya Daren . Lelaki pertama yang membuat aku percaya cinta itu nyata. Ia bukan yang paling romantis, bukan pula yang paling rajin memberi kabar, tapi setiap kali dia tersenyum atau menyebut nama ku dengan pelan, rasanya dunia berhenti sebentar untuk memberi ruang pada degup jantung ku yang tak karuan.
Kami mulai dekat sejak kelas dua SMA. Duduk sebangku karena aturan guru yang sembarangan. Katanya biar si cerewet dan si pendiam bisa saling menyeimbangkan. Nyatanya kami saling jatuh hati.
Daren lucu. Kadang sok serius, tapi selalu gagal karena ujung-ujungnya dia tertawa duluan. Dia suka menyentil jidatku tiap kali aku bengong. Dan anehnya , aku merindukan sentilan itu sekarang.
Hampir dua tahun kami bersama. Dua tahun yang aku pikir cukup untuk membuat seseorang menetap. Tapi ternyata, waktu sebanyak itu tak cukup untuk membuat Daren tetap memilih ku.
"Aku mau kuliah di kota lain " katanya suatu malam lewat telepon. Suaranya pelan, nyaris tak terdengar. Seperti akan takut menyakiti ku. Tapi luka tetap terasa bahkan sebelum kalimat selanjutnya dia ucapkan.
"Aku pikir kita cukup sampai di sini ya!"
Aku diam. Tak tau harus tertawa atau menangis . Jangankan bicara, bernapas saja rasanya berat. Aku ingin marah, ingin bertanya kenapa, tapi lidahku kelu.
"Aku syang kamu, tapi aku nggak yakin bisa menjalani LDR. Dari pada menyakiti kamu.
Klik telepon mati.
Daren pergi. Tanpa sempat aku berkata bahwa aku rela menunggu. Tanpa sempat aku bilng bahwa aku juga takut kehilangan, tapi aku lebih takut menyerah. Sayangnya dia menyerah duluan.
Hari - hari selanjutnya berjalan lambat. Aku masih membuka galeri, melihat foto-foto nya. Masih menulis panjang-lebar di notes hp yang tidak pernah ku kirim padanya.
Masih berharap walaupun sedikit, dia akan menyesal dan kembali.
Tapi waktu tak bisa di putar dan cinta.... Tidak selalu bisa di perjuangkan sendiri.
Aku belajar menerima. Bukan karena aku kuat, tapi karena aku lelah, lelah berharap pada seseorang yang tak lagi menoleh ke belakang.
Kini, aku tidak lagi menangis saat mendengar nama nya. Tidak lagi membuka galeri diam diam di tengah malam. Tapi satu hal yang belum bisa aku lupakan : rasa sakitnya di tinggal pas lagi sayang - sayang nya.
Selesai.