---
Di gedung pencakar langit yang menjulang 88 lantai, ada satu lift yang tidak tercatat di denah manapun—Lift Nomor 0. Letaknya tersembunyi di balik pintu besi tanpa tombol, hanya bisa terbuka saat jam menunjukkan pukul **03.33 pagi**. Tak ada yang tahu siapa yang membangun lift itu, tapi para petugas kebersihan malam hari selalu memperingatkan satu hal: *“Jangan pernah masuk jika pintunya terbuka sendiri.”*
Malam itu, Adra, seorang data analyst yang lembur karena deadline, menemukan dirinya sendirian di lantai 27. Saat hendak turun, semua lift normal tak berfungsi. Lalu, tiba-tiba pintu besi tanpa tombol itu terbuka dengan suara mendesis.
Di dalamnya tak ada tombol lantai. Hanya sebuah jam analog tanpa angka, jarumnya terus bergerak mundur. Adra, yang terlalu lelah untuk berpikir logis, melangkah masuk. Pintu tertutup perlahan. Lalu semuanya gelap.
Ketika lampu menyala kembali, lift telah berhenti. Pintu terbuka ke lantai... bukan. Ke sebuah kota yang tampak seperti masa lalu dan masa depan digabung menjadi satu. Langitnya berwarna jingga, dan orang-orang berjalan mundur. Semua bicara terbalik. Anak-anak membaca buku yang kosong. Dan di tengah kota itu ada jam besar, menunjukkan waktu yang sama: 03.33.
Adra mencoba bertanya, tapi mulutnya tidak mengeluarkan suara. Ia melihat ke pantulan kaca dan menyadari—dirinya pun tak punya bayangan.
Sebuah suara muncul, seolah dari dalam pikirannya:
*"Selamat datang di lantai sebelum waktu. Di sini, semua pilihan yang tak jadi kau ambil hidup dalam bentuk lain. Kau bisa tinggal, atau kembali. Tapi waktu tetap mundur."*
Ia diberi satu kesempatan: membuka salah satu dari tiga pintu—berlabel “Yang Kau Sesali,” “Yang Tak Pernah Kau Ketahui,” dan “Yang Bisa Kau Ulangi.”
Adra memilih pintu ketiga. Saat membukanya, ia melihat dirinya sendiri, duduk di kafe kecil, menatap seorang perempuan yang tak pernah ia ajak bicara. Semesta memberi kesempatan kedua.
Ketika ia terbangun, ia duduk di kafe itu. Sama seperti di penglihatan. Waktu menunjukkan pukul **03.33 sore**. Perempuan itu masih di sana.
Dan untuk pertama kalinya, Adra berdiri dan berkata, "Hai."
Perempuan itu menoleh. Mata mereka bertemu. Adra merasa aneh—seperti déjà vu, tapi lebih dalam. Seperti ia pernah hidup di momen ini berkali-kali, tapi selalu gagal menyapa.
“Hai,” jawab perempuan itu, tersenyum ragu. “Kita… saling kenal?”
Adra duduk tanpa menunggu izin. “Aku rasa kita belum. Tapi seharusnya, kita sudah.”
Mereka berbincang. Nama perempuan itu adalah Naira. Ia suka menulis puisi dan bekerja sebagai editor lepas. Mereka menyukai lagu yang sama, sama-sama benci mentimun di sandwich, dan sama-sama percaya bahwa mimpi bukan bunga tidur, tapi jendela ke realitas yang belum dijelajahi.
Saat sore berubah senja, Adra merasakan sesuatu yang ganjil. Orang-orang di sekitar mereka mulai bergerak lambat. Waktu terasa… patah.
Jam di kafe menunjukkan 03.33. Lagi.
Naira tiba-tiba terlihat pucat. “Adra… aku pernah bertemu kamu. Tapi di tempat lain. Di sebuah... dunia yang waktu mundur. Kau bilang padaku, kalau suatu hari nanti, waktu akan membalas keberanianmu.”
Adra terdiam. “Jadi… kamu juga pernah masuk lift itu?”
Naira mengangguk. “Tapi aku memilih pintu pertama: *Yang Kau Sesali.* Dan yang kulihat… adalah kehilanganmu. Seseorang yang belum sempat kukenal tapi membuatku ingin menulis seribu sajak.”
Dunia di sekitar mereka mulai bergetar. Kaca jendela retak. Orang-orang membeku. Waktu—sedang mogok kerja.
Pintu lift mendesis, muncul di tengah jalan, mengundang mereka masuk.
**Bagian 3: Satu Pilihan Terakhir**
Di dalam lift, hanya ada satu tombol: “Tamat.”
Mereka saling berpandangan. Lalu Adra berkata, “Mungkin kita tak ditakdirkan untuk hidup di waktu yang biasa. Tapi jika kita melangkah bersama, mungkin kita bisa menulis waktu sendiri.”
Naira menggenggam tangannya. Mereka tekan tombol itu bersama.
Cahaya menyilaukan. Tubuh mereka lenyap jadi partikel cahaya yang berputar membentuk simbol jam pasir terbalik.
---
Di dunia nyata, dua orang ditemukan tertidur di sebuah lift rusak di gedung 88 lantai. Mereka tak memiliki kartu akses, tidak tercatat sebagai pekerja, namun di saku mereka ada satu catatan kecil, ditulis dengan tangan:
*"Waktu hanya memberi mereka yang berani menyapanya lebih dulu. Jika kau membaca ini, carilah Lift Nomor 0. Ia menunggu pada pukul 03.33. Tapi ingat—waktu hanya akan membalas satu keberanian, bukan dua."*
Dan sejak hari itu, lift di lantai 27 kadang berdenting sendiri, tepat saat pagi masih keliru menyebut dirinya malam.
---