“Dulu, Ibu ini gendut banget waktu SD,” kata Ibu sambil menyuapi Dira, anak perempuannya yang berusia lima tahun.
“Gendut kayak balon?” Dira tertawa.
Ibu mengangguk sambil tersenyum. “Iya, balon jalan. Semua orang panggil Ibu ‘bola’ atau ‘lemper jalan’. Setiap hari, Ibu selalu takut ke sekolah.”
Dira berhenti mengunyah. “Terus Ibu sedih?”
“Iya, sayang. Tapi ada satu anak laki-laki yang beda.” Ibu mulai menatap jauh, seolah waktu mundur ke dua puluh tahun lalu.
Namanya Reza. Dia bukan murid populer, bukan jago olahraga, tapi dia selalu duduk di bangku paling depan dan selalu dapat nilai terbaik. Waktu teman-teman lain menertawakan tubuh Ibu di lapangan, Reza berdiri di depan Ibu.
“Kalau kalian pintar, kalian nggak akan menilai orang dari bentuk tubuhnya,” katanya waktu itu, dengan suara lantang. “Gendut itu bukan dosa. Dan kalau dia bisa tetap ceria meski kalian bully, dia lebih kuat dari kalian semua.”
Saat itu Ibu masih kecil, belum tahu arti cinta. Tapi setelah kejadian itu, setiap kali Ibu duduk sendiri, Reza akan duduk di samping. Kalau Ibu diledek, Reza akan balas. Kadang mereka dihukum bareng karena usil bareng juga.
“Terus... jadi pacaran ya, Bu?” Dira menatap penuh antusias.
Ibu tertawa. “Nggak langsung. Waktu SMP, Reza pindah sekolah. Kita cuma kirim surat—pakai perangko, zaman dulu belum ada WhatsApp!”
Dira manggut-manggut, walau belum benar-benar paham.
“Lalu, waktu Ibu kuliah, tiba-tiba Reza muncul di kampus yang sama. Dia ingat Ibu. Masih sama. Masih suka bela Ibu, tapi sekarang bukan dari bullying, tapi dari kesedihan, dari patah hati, dari rasa minder.”
Ibu terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut.
“Kami jatuh cinta lagi. Kali ini bukan karena Ibu gendut atau Reza baik hati. Tapi karena kami saling tahu, saling rawat, saling tahan.”
Dira memeluk ibunya, meski belum bisa mencerna sepenuhnya.
“Jadi... Ayah itu cinta pertama Ibu?” bisik Dira.
Ibu mengangguk pelan. “Iya. Dan kamu... adalah hadiah dari cinta yang panjang itu.”
Di balik pintu dapur, Reza—Ayah Dira—tersenyum sambil membawa dua gelas teh hangat.
“Balon jalan masih mau teh?” godanya.
Ibu melempar tatapan kesal bercampur geli. “Lemper jalan, maksud kamu!”
Dan di ruang kecil itu, cinta yang dimulai dari ejekan, bertumbuh jadi tawa, dan berbuah jadi keluarga.
Kalian Mau di Buatkan Dari Sudut pandang Sang Suami?