Hujan baru saja reda ketika Aluna tiba di Stasiun Tugu. Aroma tanah basah bercampur kopi dari kios kecil di pojok peron menyambutnya. Ia mengenakan mantel biru tua dan menggenggam secarik kertas lusuh—sebuah surat yang ia temukan di laci meja ayahnya seminggu lalu.
> “Jika kau membaca ini, berarti kau sudah cukup dewasa untuk tahu: ada seseorang yang pernah mencintai ibumu begitu dalam, dan dia bukan aku. Temuilah dia di Stasiun Tugu, setiap 3 Mei, pukul lima sore. Jika takdir masih berpihak, dia akan datang.”
Aluna menatap jam tangannya. 16.58.
Dia tak tahu apa yang mendorongnya datang. Mungkin rasa penasaran. Mungkin pula rindu pada sosok ibu yang telah pergi sejak ia kecil.
Tepat pukul lima, seorang pria tua turun dari kereta dengan langkah pelan. Rambutnya telah memutih, tapi sorot matanya tajam, menyimpan rindu yang lama tersimpan.
Pandangan mereka bertemu.
"Aku... Aluna," ucapnya gugup.
Pria itu tersenyum. "Matanya seperti Alisa," bisiknya, menyebut nama ibunya. "Kau datang."
Mereka duduk di bangku tua, berbincang tentang masa lalu yang nyaris terkubur, tentang cinta yang tak bisa bersatu karena keadaan. Tapi juga tentang bagaimana cinta itu tetap hidup—dalam surat, kenangan, dan seorang anak yang kini duduk di sampingnya.
Saat matahari tenggelam, Aluna menggenggam tangannya.
Bukan sebagai kekasih lama. Tapi sebagai seseorang yang akhirnya menemukan potongan hatinya yang hilang.
Langit mulai gelap ketika Aluna dan pria itu—Pak Rama—berjalan keluar dari stasiun. Di bawah lampu-lampu temaram kota Yogyakarta, mereka menyusuri Malioboro sambil terus berbincang. Setiap cerita yang keluar dari mulut Pak Rama membuat sosok Alisa, ibu Aluna, terasa semakin hidup di benaknya.
"Ayahku... tahu tentang Ibu dan kamu?" tanya Aluna pelan, menatap langkah kakinya.
Pak Rama menarik napas panjang. "Dia tahu. Dan dialah yang memintaku menjauh."
Aluna menoleh cepat.
"Alisa memilih menikah demi kestabilan. Bukan karena tidak mencintaiku, tapi karena tahu aku tak bisa memberinya kehidupan yang tenang. Aku seniman jalanan waktu itu, penuh mimpi tapi tak punya tempat tinggal tetap." Pak Rama tertawa kecil. "Tapi kupikir dia ingin kamu tahu bahwa cinta itu bukan cuma soal bersama, tapi soal menjaga meski dari jauh."
Aluna terdiam. Di antara langkah-langkah kaki para turis malam itu, dunia terasa lebih hening.
"Kamu sendiri, Pak Rama?" tanyanya pelan.
"Lama sendiri. Mungkin karena hatiku masih menunggu momen seperti ini." Tatapannya jatuh pada wajah Aluna, penuh sayang. "Bertemu kamu... seperti bisa menuntaskan cerita yang tak sempat selesai."
Mereka berhenti di sebuah warung angkringan.
"Aku nggak tahu harus sedih atau bahagia," gumam Aluna.
"Tak usah dipilih. Kadang hidup memberi kita keduanya sekaligus."
Saat malam semakin larut, Aluna membuka surat lain—yang ternyata tersembunyi di balik amplop yang sama. Isinya hanya dua baris:
> Jika kamu bertemu dengannya, peluk dia. Karena dia pernah jadi rumah yang tak bisa kutinggali.
Aluna menatap Pak Rama. Lalu, tanpa ragu, ia berdiri dan memeluk pria tua itu.
Tak ada kata-kata. Hanya rasa. Hanya pelukan hangat yang merangkum puluhan tahun penantian, kehilangan, dan kasih yang tak pernah benar-benar mati.
Dan di malam itu, di bawah langit Yogyakarta, cinta akhirnya pulang ke tempatnya.
---