Sejak SMP, Alea menyukai Dewa. Diam-diam. Dalam sepi. Ia menyimpan perasaannya seperti seseorang menjaga rahasia diari—tak pernah terbuka, tapi selalu ada.
Dewa? Terlalu jauh. Terlalu tinggi. Terlalu tampan dan populer. Ia seperti langit yang hanya bisa Alea pandangi dari bawah. Apalagi, dia selalu bersama gadis-gadis lain. Terlihat bahagia. Seolah Alea tak pernah ada.
Tapi sekarang... semuanya berbeda.
“Kenapa baru sekarang?” bisik Alea, suaranya bergetar. Hujan membasahi bahunya. Tapi yang lebih dingin adalah tatapan Dewa di hadapannya—penuh luka... dan sesuatu yang lain.
“Karena aku tak tahu harus mencintaimu dengan cara biasa,” jawab Dewa pelan. “Karena sejak dulu, aku terlalu takut kamu menjauh... jadi aku hanya memperhatikanmu dari jauh. Aku... terlalu gila untukmu, Alea.”
Alea tertawa miris. “Lucu. Aku mencintaimu dulu, sampai aku menangis dalam diam. Kamu tak pernah melihatku. Bahkan saat aku memberanikan diri untuk menyapa... kamu memilih pergi dengan yang lain.”
“Aku menyesal.”
“Penyesalanmu datang terlambat.”
Dewa melangkah maju, memegang pergelangan tangannya. “Jangan bilang kamu sudah melupakanku, Alea.”
Alea menatap mata pria itu. Mata yang kini penuh dengan kegilaan—cinta yang membusuk jadi obsesi. Ia mendengar dari teman-temannya, bagaimana Dewa putus dari semua mantan pacarnya dengan alasan yang sama: “Dia bukan Alea.”
Ia tahu Dewa sering muncul di dekat tempat kerjanya. Diam-diam. Mengamati. Mungkin sudah sejak lama.
“Jadi kamu mengawasiku selama ini?” bisik Alea ngeri.
“Aku hanya... tak ingin kehilanganmu lagi. Aku menyadari segalanya saat kamu mulai menjauh. Saat kamu mulai tertawa dengan lelaki lain. Saat kamu mulai melupakan aku.”
Air mata Alea jatuh. Tapi bukan karena cinta.
“Kalau kamu benar-benar mencintaiku, Dewa… kamu takkan membiarkanku menangis sendirian selama bertahun-tahun.”
Dewa terdiam.
Angin meniup hujan yang makin deras. Alea perlahan melepaskan genggaman tangannya dari cengkraman Dewa. Kali ini ia benar-benar pergi. Bukan lagi sebagai gadis SMP yang menyimpan harapan. Tapi sebagai perempuan yang akhirnya sadar, bahwa cinta tak seharusnya tumbuh dari ketakutan.
Dewa berdiri sendiri di bawah hujan. Tersenyum kecil.
“Meski kamu menjauh... kamu tetap milikku, Alea. Selalu.”
Dan malam itu... langit menangis untuk cinta yang terlambat dan obsesi yang tak pernah mati.