_____________________________
Di negeri Aetheria, tempat para peri tinggal di langit biru dan hutan gemerlap, lahirlah seorang peri malam bernama Rara. Ia berbeda dari para peri lainnya—sayapnya berwarna hitam keunguan, matanya bercahaya perak, dan tubuhnya terasa dingin bagi siapa pun yang menyentuhnya. Sejak kecil, para peri menganggapnya sebagai pertanda buruk. Bahkan keluarganya pun menjaga jarak.
“Awan kelam yang membungkus malam…” bisik mereka setiap kali Rara lewat. Tapi Rara tak sendiri.
Maira, peri angin yang ceria, selalu ada di sisinya. Meski dihina karena berteman dengan "pembawa sial", Maira tak pernah goyah.
“Aku lebih suka malam yang tenang daripada siang yang berisik,” kata Maira sambil menggenggam tangan Rara.
Mereka tumbuh bersama, diam-diam belajar tentang dunia di luar Aetheria. Ketika usia mereka genap 16 siklus bulan, mereka menemukan peta tua yang berbicara tentang Cermin Langit, artefak kuno yang konon bisa memperlihatkan jati diri sejati seorang peri.
Dengan semangat, mereka pergi meninggalkan Aetheria. Dalam perjalanan mereka menghadapi badai angin utara, makhluk bayangan hutan, dan labirin kabut abadi. Tapi tantangan terbesar datang ketika Rara terjebak dalam ilusi di Hutan Bayangan. Di sana, Rara melihat dirinya berubah menjadi makhluk kegelapan, ditinggalkan Maira, dihina dunia.
“Aku memang kutukan…” bisiknya, menyerah pada kegelapan.
Namun suara lembut memanggilnya, menembus kabut:
“Rara! Kamu bukan kutukan. Kamu adalah malam yang membuat bintang terlihat.”
Itu suara Maira. Dengan air mata dan kekuatan hati, Maira masuk ke dalam ilusi dan menggenggam tangan Rara, menyadarkannya.
Di akhir petualangan, mereka tiba di Cermin Langit. Saat Rara menatapnya, ia melihat bayangan dirinya... dengan sayap besar bersinar hitam kebiruan, dan ratusan peri malam di belakangnya. Ia bukan kutukan—ia adalah keturunan pertama dari penjaga malam yang telah lama hilang, yang tugasnya menjaga keseimbangan antara terang dan gelap.
Tangis Rara pecah. Untuk pertama kalinya, ia merasa... diterima, oleh dirinya sendiri.
Sekembalinya ke Aetheria, langit malam memancarkan aurora hitam-ungu yang indah. Dan para peri menyambut Rara bukan dengan ketakutan, tapi kekaguman. Mereka melihat bahwa malam pun bisa indah, jika kita mau memahaminya.
Dan di sampingnya, seperti biasa, Maira berdiri. Tersenyum.
“Kamu bukan awan kelam, Ra. Kamu langit malam itu sendiri.”