Udara sore di desa itu masih sejuk seperti dulu. Langit berwarna jingga, matahari sebentar lagi tenggelam di balik perbukitan. Di jalan setapak yang mengarah ke rumah tua beratap genteng merah, seorang pria berdiri dengan koper di tangan dan wajah penuh kenangan.
Namanya Raden. Sudah sepuluh tahun dia meninggalkan desa tempat ia dibesarkan demi mengejar mimpi di kota. Selama itu pula, rumah ini hanya menjadi tempat dalam ingatan, bukan tujuan nyata.
Dulu, Raden pergi dengan amarah. Ia bertengkar hebat dengan ayahnya, Pak Warto, karena menolak meneruskan usaha toko kelontong keluarga. Ia ingin jadi fotografer profesional, bukan pedagang sembako seperti generasi sebelumnya. Ibunya, Bu Siti, hanya bisa menangis diam-diam melihat dua orang yang paling dicintainya saling membenci.
Kini Raden kembali. Bukan karena rindu, tapi karena sebuah pesan pendek dari sang ibu: “Ayahmu sakit, pulanglah sebelum senja.”
Ketika Raden membuka pintu rumah itu, aroma kayu tua, kapur barus, dan masakan ibu menyeruak. Ruangan masih sama—rak buku yang berisi novel-novel lama, foto keluarga di dinding, dan jam tua yang berdetak pelan.
“Raden…”
Ia menoleh. Di ambang pintu dapur, Bu Siti berdiri. Wajahnya menua, garis-garis halus di sudut mata semakin dalam. Tapi senyumnya, ah, senyumnya masih sama hangatnya.
Raden menghampiri dan memeluknya. Lama. Seolah ingin menebus waktu yang hilang.
“Ayah di kamar. Kondisinya tidak seperti dulu. Tapi dia tahu kamu datang,” ujar Bu Siti sambil menuntunnya.
Raden masuk ke kamar itu dengan langkah ragu. Di ranjang, Pak Warto terbaring. Tubuhnya kurus, napasnya tersengal, dan mata tuanya hanya bisa menatap. Tapi ketika melihat Raden, ada kilatan cahaya di sana—campuran bahagia dan lega.
“Aku pulang, Yah,” bisik Raden sambil menggenggam tangan ayahnya.
Tak ada kata, hanya air mata yang mengalir. Dan itu sudah cukup.
Beberapa hari berlalu, Raden memilih tinggal lebih lama. Ia membantu ibunya mengurus toko, yang kini tak seramai dulu. Pagi ia bangun lebih awal, membantu menyapu halaman, memasak, dan menemani ayahnya yang hanya bisa berbaring.
Dalam rutinitas itulah ia bertemu kembali dengan Nadira.
Nadira adalah teman masa kecil, sahabat, dan cinta pertama yang tak pernah diucapkan. Dulu mereka hampir tak terpisahkan. Tapi Raden yang keras kepala memilih meninggalkan semuanya, termasuk Nadira yang diam-diam menunggunya.
Kini Nadira adalah ibu satu anak. Ia menjanda sejak suaminya meninggal tiga tahun lalu. Ia bekerja sebagai guru TK di desa, dan sering datang membeli bahan makanan di toko Raden.
“Hidup di kota bikin kamu makin kurus,” goda Nadira suatu pagi.
Raden tertawa. “Hidup di kota bikin lupa makan, tapi selalu ingat pulang.”
Nadira menatapnya dalam. Ada luka lama yang tergores kembali, tapi ia sembunyikan di balik senyum.
Hari berganti minggu. Kondisi Pak Warto memburuk. Suatu malam, saat hujan turun deras dan angin menggoyang dedaunan, Raden duduk di samping tempat tidur ayahnya.
“Ayah,” bisiknya, “aku dulu salah. Aku terlalu egois. Aku kira mengejar mimpi harus dengan meninggalkan segalanya. Tapi ternyata... mimpi itu lebih berarti kalau bisa dibagi.”
Pak Warto memandang anaknya. Tangannya yang lemah menggapai pelan. Raden menggenggamnya erat.
“Mimpi... rumah... keluarga,” gumam Pak Warto dengan napas terputus-putus. “Semua... penting.”
Dan malam itu, Pak Warto berpulang. Dalam tenang, dengan senyum tipis di wajahnya.
Pemakaman dilakukan sederhana. Banyak warga desa datang, memberi penghormatan pada Pak Warto yang dikenal baik dan dermawan.
Raden berdiri di samping pusara ayahnya, Nadira di sisinya.
“Aku akan meneruskan toko ini,” katanya pelan. “Tapi tidak sekadar toko. Aku ingin menjadikannya tempat orang-orang berkumpul. Tempat cerita bermula.”
Nadira menatapnya. “Kamu sudah dewasa, Den.”
Raden menoleh, dan untuk pertama kalinya, ia mengulurkan tangannya, bukan sebagai sahabat, tapi sebagai seseorang yang tak ingin kehilangan lagi.
“Kalau aku minta kesempatan kedua... untuk tinggal, membangun, dan mencintai... apakah masih ada?”
Nadira tak menjawab dengan kata. Ia hanya menggenggam tangan Raden dan tersenyum. Dan di balik senja yang mulai turun, cinta itu tumbuh kembali. Bukan sebagai pengganti, tapi sebagai kelanjutan dari apa yang pernah ada—lebih kuat, lebih dewasa.
Beberapa bulan kemudian, toko kelontong keluarga berubah wajah. Dindingnya dicat ulang, rak-raknya disusun rapi, dan di pojok ruangan, ada sudut kecil berisi bingkai foto karya Raden—wajah-wajah warga desa, anak-anak yang tertawa, ibu yang menanak nasi, dan kenangan yang direkam dengan cinta.
Toko itu kini ramai. Bukan hanya tempat belanja, tapi tempat ngobrol, berbagi cerita, bahkan tertawa. Raden memotret, Nadira mengajar, dan mereka menjalani hari-hari dengan sederhana tapi penuh makna.
Di malam hari, ketika suara jangkrik terdengar di luar jendela, Raden akan duduk di beranda, menatap bintang bersama Nadira dan anak kecil yang memanggilnya “Om Raden.”
Dan dalam hati, ia tahu, pulang sebelum senja adalah keputusan terbaik dalam hidupnya.