Kalau bukan karena Mama sama Papa, kamu itu tidak mungkin bisa sekolah tinggi!
Kalimat itu begitu sering diucapkan, bahkan lebih sering dari kata “apa kabar?”
Namaku Zara. Mahasiswi tingkat akhir yang terkadang merasa seperti beban di rumah.
Setiap kali aku butuh sesuatu, entah itu uang untuk seminar, beli buku, atau hanya sekedar ongkos pulang, aku tahu apa yang akan datang.
Uang, uang, uang.
Mama sudah bilang, kuliah itu mahal, kenapa tidak mengerti?
Papa tuh kerja keras, Zara. Jadi, jangan banyak alasan kalau minta duit lagi.
Aku tahu, aku tidak bisa menyalahkan mereka. Mama dan Papa bekerja keras untuk memberi aku pendidikan yang lebih baik. Tapi terkadang, aku merasa seperti hidup hanya untuk membayar hutang mereka.
Waktu aku pulang membawa IPK yang hampir sempurna, mereka tidak bilang apa-apa.
Ya memang harus begitu. Sekolah mahal, masa nilainya jelek? kata Mama dengan nada sinis.
Aku terkadang merasa seperti robot yang harus memenuhi ekspektasi tanpa pernah diberi ruang untuk merasakan keberhasilan itu sendiri.
Tapi aku diam saja. Apa lagi yang bisa kuucapkan?
Setiap pengorbanan mereka, aku terima dengan penuh rasa syukur. Tapi mengapa setiap kali aku ingin melakukan sesuatu, selalu ada harga yang harus dibayar?
Aku pernah bermimpi untuk ikut seminar internasional di luar kota, dan itu membutuhkan biaya yang cukup besar.
Aku tidak berani bilang langsung pada mereka, jadi aku coba cari dana sendiri. Tapi saat akhirnya aku terpaksa mengutarakan, yang kuterima hanya wajah kecewa.
Lagi-lagi seminar? Kenapa tidak fokus saja dulu sama tugas-tugasmu yang menumpuk?
Mama memandangku dengan tatapan sinis.
Malam itu aku duduk di meja, menulis di buku harianku. Bukan hanya untuk menuangkan perasaan, tapi untuk meredakan gejolak yang ada di dadaku.
Aku menulis surat untuk mereka, surat yang tidak pernah ku kirimkan. Tapi itu menjadi pelampiasan hatiku.
"Papa, Mama... Aku tahu, uang yang kalian habiskan untukku sangatlah besar. Aku tahu kalian berjuang keras agar aku bisa kuliah dan meraih masa depan.
Tapi apakah kalian tahu, setiap kali kalian mengingatkan aku tentang uang, aku merasa seperti aku hidup karena kalian.
Aku tidak ingin menjadi beban. Aku ingin membanggakan kalian. Tapi di sisi lain, kalian membuatku merasa seperti tidak cukup. Kenapa, setiap kali aku ingin lebih, itu selalu berkaitan dengan uang?
Aku berusaha keras. Aku belajar tanpa lelah. Aku ingin jadi lebih baik dari sebelumnya, dan aku tidak pernah minta banyak. Tapi bisa tidak, sekali saja kalian berhenti mengingatkan aku tentang semua pengorbanan yang sudah kalian lakukan? Aku ingin merasakan kebanggaan itu tanpa harus merasa berhutang."
Aku menutup buku itu dengan perasaan campur aduk. Tidak mengirimkan surat itu, rasanya seperti melepaskan beban berat. Meskipun tidak pernah mereka baca, aku merasa sedikit lega.
Keesokan harinya, Papa mengajak makan bersama, seperti biasanya. Wajahnya sedikit lebih cerah daripada kemarin. Aku mencoba berbicara lebih banyak, menyampaikan berita baik tentang tugas akhir yang hampir selesai, tentang peluang kerja yang terbuka, dan hal-hal lain yang menyenangkan. Tapi di dalam hatiku, ada rasa kosong yang tetap tak terisi.
Aku tahu mereka bekerja keras untukku. Mereka memberi segala yang mereka bisa. Tapi kadang-kadang, aku ingin merasa seperti aku lebih dari sekedar angka di dalam anggaran bulanan mereka.
Aku ingin dihargai juga bukan hanya karena prestasi, tapi juga karena keberadaanku. Bukan hanya sebagai pembayar "hutang”, tetapi sebagai anak mereka.
Hari itu, aku kembali ke kamar dan melihat sekeping kertas di atas meja. Itu adalah tanda terima pembayaran semester. Kertas itu tampak seperti bukti dari apa yang aku sebut sebagai “tanda kasih”—bukan “tanda hutang”. Tapi sepertinya mereka tidak pernah melihatnya seperti itu.
Mereka hanya melihat biaya, angka, dan tanggung jawab.
Aku meletakkan tanda terima itu di rak buku, di antara buku-buku yang sudah menumpuk. Lalu, aku duduk, menarik napas dalam-dalam, dan memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tidak biasa. Aku menulis satu lagi kalimat di dalam buku harianku.
"Terima kasih, Ibu. Terima kasih, Bapak. Aku tahu kalian bekerja keras untukku, dan aku akan selalu menghargainya. Tapi aku ingin kalian tahu, aku berusaha untuk bukan hanya menjadi anak yang mereka bayar dengan uang, tapi juga anak yang bisa membuat kalian bangga dengan cara yang lain."
Dan entah kapan, aku berharap mereka bisa melihatku, bukan hanya sebagai angka yang harus dibayar, tetapi sebagai seseorang yang mereka cintai.
𐙚⋆°.⋆♡