Langit sore itu mendung, seperti perasaan Ara yang belum sempat menyatakan isi hatinya kepada Bima. Hujan mulai turun ketika bel pulang berbunyi. Siswa-siswi berlarian keluar, tapi Ara tetap duduk di bangkunya, memandangi jendela yang mulai dihiasi titik-titik air.
“Belum pulang?” tanya suara yang sangat dikenalnya.
Ara menoleh. Bima berdiri di ambang pintu kelas, dengan tas disampirkan dan rambut sedikit basah.
“Lagi nunggu hujan reda,” jawab Ara singkat.
Bima tersenyum, lalu duduk di bangku kosong di depannya. “Sama. Aku juga.”
Beberapa menit berlalu dalam diam. Hanya suara hujan dan detak jantung Ara yang semakin kencang. Ia mencuri pandang ke arah Bima yang sedang menatap keluar. Rasanya sekarang atau tidak sama sekali.
“Bim,” panggil Ara lirih.
“Hm?”
“Aku... suka kamu.”
Bima menoleh, wajahnya terlihat kaget, tapi tidak marah. “Sejak kapan?”
Ara menunduk malu. “Sejak kamu pinjemin jaket waktu aku kedinginan di kelas IPA, tiga bulan lalu.”
Bima tertawa kecil. “Kamu telat bilang.”
Ara menatapnya heran. “Maksudnya?”
“Karena aku juga suka kamu. Sejak kamu marah-marah waktu aku hampir jatuh pas upacara. Katanya ‘bodoh, tapi lucu’.”
Ara tersipu. Mereka tertawa bersama, sementara hujan masih turun deras. Tapi kali ini, langit tidak lagi kelabu. Karena di hati mereka, sudah mulai muncul pelangi.