Cerpen:
Di suatu petang yang seakan berdiri di antara masa lalu dan masa depan, Syukira Lumine termenung di tepi jendela villa Asunari yang menghadap ke tasik berkabus. Angin menyapu tirai nipis, membawa bersama bau nostalgia yang tak dapat dijelaskan. Di celah kabus yang menari, dia terlihat seolah ada sesosok bayang berdiri di seberang air. Terlalu nyata untuk disebut ilusi, terlalu mustahil untuk dipercayai.
“Arata...” bisik Lumine perlahan, seakan menyapa kenangan.
Sudah lima hari lelaki itu menghilang setelah babak aneh di Kampung Tok Lajin. Sejak malam rumah tua itu menyebut namanya, Arata seolah dibawa jauh ke dimensi lain — bukan secara fizikal, tapi jiwa dan ingatannya yang semakin dijerat masa silam.
Namun hari itu, Lumine menemui sesuatu. Sebuah buku kecil terselit di antara papan lantai bilik bacaan. Di muka surat pertama hanya tertulis satu ayat:
"Jika aku lenyap, carilah aku bukan dengan mata, tapi dengan hati yang bersaksi."
Ia adalah tulisan tangan Arata. Tegas, kemas, dan penuh luka yang disorokkan dalam dakwat hitam.
Dalam pencariannya, Lumine menemui seorang lelaki tua yang hanya dikenali sebagai "Pak Rumi", penjaga jam lama di hujung kota Velhantara. Lelaki itu menyebut satu nama yang telah lama terkubur—Takuma, leluhur Arata.
“Jam di menara tu,” kata Pak Rumi dengan suara parau, “hanya berdenting bila waris sebenar menjejakkan kaki ke tanah yang ditakdirkan. Kau akan tahu bila waktu itu tiba.”
Malam itu, ketika langit membuka hujan gerimis dan petir menyambar langit, jam di menara berdenting satu kali. Hanya sekali. Tapi cukup untuk membangkitkan gema yang telah lama tidur dalam darah Arata.
Dan dari jauh, di sebalik kabus tasik, suara itu datang—sayup, dalam denting yang tak putus:
"Lumine... ingatkan aku siapa aku, sebelum dunia ini padam."
---
Penutup Klasik:
Dan pada malam itu, di mana langit melakar serpihan waktu dan denting jam berdansa bersama rahsia, sebuah cinta dan warisan pun mula bersuara—dalam bisikan angin, dalam getar jantung yang enggan berhenti menanti.