Bel sekolah berdentang tiga kali, memecah suasana kelas yang panas dan sumpek. Suara kursi berderit, buku-buku dijejalkan ke dalam tas, dan langkah-langkah tergesa memenuhi lorong panjang di lantai dua. Di antara hiruk-pikuk itu, empat gadis melangkah santai ke arah taman belakang sekolah, melewati deretan kelas yang mulai kosong.
"Hari ini panas banget, sumpah," keluh Seana sambil mengibas-ngibaskan map plastik ke wajahnya. Pipinya memerah, keringat menempel di pelipis, tapi senyumnya tetap merekah.
"Biasa aja," sahut Kezia, menenteng tas berat di pundaknya. "Kamu tuh kebanyakan ngomel, Seana."
"Ngomel itu salah satu bentuk coping mechanism," jawab Seana cepat, membuat Mychia tertawa cekikikan di belakang mereka.
Leora berjalan di samping mereka, diam, sesekali menatap langit yang biru nyaris tanpa awan. Dia bukan tipe yang suka banyak bicara, tapi kehadirannya selalu terasa. Ada ketenangan aneh yang menular dari caranya berjalan, dari caranya menghela napas pelan.
Mereka berempat akhirnya sampai di bangku tua di sudut taman belakang, di bawah pohon flamboyan yang sedang berbunga. Tempat itu seperti dunia kecil mereka sendiri, tersembunyi dari mata guru-guru dan siswa lain yang lebih suka berlarian ke kantin.
Seana menjatuhkan diri ke bangku dengan dramatis. "Finally. Bangku tercinta."
Mychia langsung rebahan, menjadikan tasnya sebagai bantal. "Kalau bisa tidur di sini semalaman, aku mau deh."
"Kamu tuh tidur mulu, Chi," bibir Kezia, duduk di ujung bangku sambil mengeluarkan botol minum dari tasnya. "Nggak bosen apa?"
"Tidur itu investasi jangka panjang, Kak Kezia. Coba kamu pikir, kalau kurang tidur, nanti tuanya cepet," balas Mychia dengan mata setengah terpejam.
Leora tersenyum tipis, mengambil posisi duduk bersila di atas rumput. Dia membuka buku catatan kecilnya dan mulai mencoret-coret sesuatu. Terkadang Leora mencatat ide-ide aneh yang muncul di kepalanya, tentang cerita, puisi, bahkan sekadar kutipan random.
"Eh, nanti malam kalian ikut nonton konser di taman kota, nggak?" Tanya Seana tiba-tiba.
"Males," jawab Kezia cepat. "Aku ada les piano."
"Aku sih mau," seru Mychia, tangannya terangkat lemah di udara.
Leora mengangkat bahu. "Lihat nanti."
"Cih," Seana mendengus pura-pura kesal. "Bisa-bisanya kalian seenaknya gitu. Padahal kan asik banget nonton bareng!"
"Seana, nggak semua orang punya energi kayak kamu," komentar Kezia sambil menyisipkan rambut ke belakang telinga.
Mychia mendadak bangkit, matanya berbinar. "Atau kita ngadain acara sendiri aja? Kayak... piknik kecil gitu?"
"Seru tuh!" Seru Seana langsung semangat.
"Aku bawa makanan," tawar Kezia, setengah terpaksa.
Leora hanya mengangguk, tidak banyak bicara, tapi matanya memancarkan ketertarikan.
Mereka mulai merancang acara kecil itu sambil bercanda, berceloteh tanpa arah, dan saling melempar ide-ide aneh. Rencana yang sebetulnya sederhana itu terasa luar biasa penting saat itu, seolah-olah dunia berputar hanya untuk mereka berempat.
Seiring sore bergulir, taman semakin sepi. Angin sore membelai dedaunan, dan bayang-bayang panjang mulai membungkus lapangan basket yang terbengkalai.
"Kamu mau jadi apa, Leora?" tanya Seana tiba-tiba, membuyarkan lamunan.
Leora berhenti mencoret-coret bukunya. Ia berpikir sejenak. "Nggak tahu. Yang penting, kerjaan yang nggak terlalu banyak ngomong."
Seana tertawa. "Ya cocok banget. Kamu tuh kayak ninja. Tahu-tahu ada, tahu-tahu hilang."
"Kalau kamu, Kezia?" Tanya Mychia.
Kezia menegakkan badan, suaranya mantap. "Arsitek."
"Keren banget..." gumam Seana, sungguh-sungguh.
"Kalau aku sih pengen jadi apa aja yang bisa keliling dunia," kata Mychia sambil mengayun-ayunkan kakinya di udara, membayangkan langit luas dan jalanan asing di negeri jauh.
Mereka tertawa, berceloteh, dan sore itu terasa seperti janji bahwa apapun yang terjadi nanti, momen-momen seperti ini akan selalu tinggal bersama mereka.