Hujan mengguyur kota sejak pagi, seakan langit pun tahu betapa kelamnya hatiku. Aku berdiri di bawah payung hitam, menatap kosong ke arah kafe tempat kita dulu sering bertemu. Di dalam sana, di balik kaca berembun, kulihat kau — duduk berdua dengan perempuan itu. Tangannya meraih tanganmu, dan kau membiarkannya. Tertawa, seolah tak ada dosa yang mengikat.
Kau berjanji padaku. Berkali-kali. Tentang masa depan, tentang rumah kecil bercat putih, tentang suara anak-anak kita di halaman. Tapi nyatanya, semua itu tak lebih dari reruntuhan kata-kata.
Aku tidak akan menangis lagi. Tidak untukmu.
Beberapa minggu lalu, saat pertama kali kudengar tentang perselingkuhanmu, hatiku hancur tak berbentuk. Aku mengurung diri, menahan sesak yang mencabik-cabik dada. Tapi luka yang terlalu lama disimpan berubah menjadi sesuatu yang lain: dendam.
Aku mulai menyusun rencana. Bukan untuk membuatmu kembali — aku tidak sebodoh itu. Aku ingin kau merasakan separuh dari rasa sakit yang kau tinggalkan.
Aku mendekati teman bisnismu, Reza. Seorang pria cerdas, tampan, dan yang terpenting — ambisius. Aku tahu, reputasimu di dunia kerja adalah segalanya. Dan aku juga tahu, kau tak akan tahan kehilangan kepercayaan orang-orang di sekitarmu.
Butuh waktu sebulan, rayuan yang terukur, senyum yang kulatih di depan cermin, agar Reza percaya sepenuhnya. Aku mendengar semua rahasiamu dari mulutnya: proyek ilegal yang kau tutupi, bukti-bukti yang bisa menghancurkan kariermu dalam sekejap. Aku mengumpulkannya dengan sabar, dengan tangan gemetar menahan rasa bersalah yang terkadang menyeruak. Tapi setiap kali aku hampir goyah, aku mengingat wajahmu — wajah penuh kebohongan.
Malam itu, aku mengirimkan semuanya ke dewan komisaris perusahaanmu, tanpa nama, tanpa jejak. Seperti melepaskan burung kecil dari dalam dada yang sempit.
Dan hari ini, aku berdiri di sini, melihatmu tertawa, belum tahu badai besar tengah mengintaimu.
Teleponmu berbunyi. Kulihat kau mengernyit, membaca sesuatu dari layar. Wajahmu menegang. Kau bangkit tergesa, meninggalkan perempuan itu tanpa penjelasan. Aku mengikutimu dengan tatapan dingin, menyaksikan langkahmu berubah kacau, panik.
Di sudut jalan, aku membuang payungku. Aku ingin merasakan hujan ini. Membiarkannya membasahi rambutku, wajahku, seolah mencuci bersih luka-luka lama.
Aku tidak tahu apakah ini membuatku jahat. Tapi untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, aku merasa bebas. Tidak ada lagi belenggu cinta palsu yang menahan langkahku. Tidak ada lagi aku yang memelas perhatianmu.
Ada bara yang tersisa di hatiku, memang. Tapi itu bukan lagi bara rindu. Itu adalah bara dari seorang perempuan yang akhirnya memilih dirinya sendiri.
Aku berbalik, melangkah menjauh dari hidupmu yang runtuh perlahan.
Tak ada penyesalan.
Tak ada lagi aku untukmu.
----
"Tak semua luka butuh obat — beberapa harus dibakar habis untuk bisa sembuh."