Aku selalu tahu tempatku.
Duduk di barisan belakang, tersenyum ketika dia tersenyum pada orang lain. Menjadi telinga ketika dia menangis karena orang yang benar-benar dia cintai. Menjadi pundak tempat dia bersandar... tapi tidak pernah menjadi tangan yang dia genggam lebih dulu.
Namaku Rena. Dan dia, orang yang selalu kucintai diam-diam, adalah Arka.
Sejak SMA, aku sudah terbiasa. Melihatnya jatuh cinta, patah hati, lalu bangkit lagi — tanpa sekalipun menoleh ke arahku.
"Rena, kamu selalu ada buat aku. Aku nggak tahu harus gimana kalau nggak ada kamu," katanya sambil tertawa ringan, tanpa sadar betapa kalimat itu menusukku jauh lebih dalam dari yang bisa dia bayangkan.
Aku bukan orang bodoh. Aku tahu, di dunia Arka, aku hanyalah tempat nyaman. Tempat dia pulang saat dunia mempermainkannya.
Tapi bukan rumah.
Bukan tujuan.
Hari itu, aku menemuinya di kafe kecil langganan kami. Dia tersenyum cerah, membawa kabar gembira.
"Rena, aku jadian sama Dira!" katanya penuh semangat.
Dira. Teman sekelas kami yang cantik, pintar, semua hal yang aku pikir aku tidak pernah cukup untuk menjadi.
Aku ikut tersenyum. Berpura-pura bahagia.
"Selamat, Arka," kataku, menepuk pundaknya pelan.
Di dalam hatiku, badai meledak.
Lalu hening.
Seperti biasa.
Malamnya aku merenung, bertanya pada diri sendiri:
Haruskah aku selamanya jadi yang kedua?
Haruskah aku terus ada di sisinya, hanya untuk melihatnya memilih orang lain berulang kali?
Aku memandang pantulan diriku di cermin. Ada sesuatu yang berubah malam itu.
Sebuah tekad perlahan tumbuh.
Aku berhak bahagia.
Aku berhak menjadi "yang pertama" bagi seseorang.
Bukan sekadar bayangan, bukan sekadar pilihan kedua.
Esoknya, aku menemuinya. Kali ini, aku yang bicara lebih dulu.
"Arka," kataku, menatap matanya dalam-dalam. "Aku minta maaf... Aku nggak bisa terus ada buat kamu kayak dulu. Aku butuh waktu buat diri sendiri."
Dia terlihat kaget. Bingung. Seolah tak pernah terpikir bahwa aku bisa pergi.
"Rena, kenapa tiba-tiba...?"
Aku tersenyum, lebih tulus daripada biasanya.
"Aku cuma capek jadi yang kedua."
Lalu aku pergi, tanpa menoleh lagi.
Untuk pertama kalinya, aku memilih diriku sendiri.
Dan rasanya... lega.
---