Langkahku terhenti di persimpangan jalan setapak yang berdebu. Aroma bunga liar bercampur getir dengan bau asap dari kejauhan. Pemandangan yang sama... lagi, Langit senja berwarna jingga dan ungu, lukisan yang indah namun terasa hampa di mataku.
Sekali lagi... aku merasakan tarikan takdir yang tak terlihat.
Sama seperti sebelumnya.
Sama seperti setiap kali cerita itu dibaca, didongengkan, dan diyakini.
Setiap kali bibir seseorang melafalkan kemenangan sang pahlawan gagah,
Setiap kali mata mereka berbinar membayangkan kebahagiaan sang putri jelita,
Maka aku—Adrian Thorne—kembali terlempar ke dalam peran yang telah ditentukan.
Sebagai bayang-bayang. Sebagai kontras. Sebagai alasan mengapa cahaya mereka bersinar lebih terang.
Aku tahu tempatku.
Aku adalah villain dalam kisah ini.
Itulah peran yang diberikan padaku sejak awal.
Pengkhianat.
Perebut takhta.
Perusak kedamaian negeri.
Aku tidak punya hak untuk memilih dialogku.
Aku tidak punya kebebasan untuk mengubah alur cerita.
Semuanya sudah tertulis dalam gulungan perkamen takdir yang tak bisa kubakar.
Namaku...
Akan selalu diucapkan dengan nada penuh amarah dan penghinaan.
Lelaki yang berdiri di jalan sang pahlawan, yang harus disingkirkan demi happy ending mereka.
Jika hari ini aku harus menyusun rencana jahat di balik senyum sinis, maka aku akan melakukannya.
Bukan karena hatiku dipenuhi kegelapan...
Tapi karena itulah yang diharapkan oleh cerita yang di buat oleh penulisku.
Jika naskah memaksa tanganku untuk menghunus pedang dan melukai,
maka darah akan tertumpah.
Meski dalam diam aku meratapi setiap tetesnya,
Meski jiwaku memberontak terhadap kekerasan ini.
Aku mendengar sorak sorai mereka, para pendengar setia kisah heroik itu.
Mereka mengelu-elukan keberhasilan sang pahlawan,
Mereka merayakan bersatunya dua jiwa yang ditakdirkan,
Sementara aku...?
Aku kembali terjerembap ke dalam jurang kekalahan yang sama—berulang kali.
Di dunia yang penuh dengan dikotomi baik dan jahat ini, karakter sepertiku tidak pernah ditawarkan penebusan.
Aku ada untuk dikalahkan.
Aku ada untuk menjadi pelajaran.
Aku ada untuk membuat kemenangan mereka terasa lebih manis.
Setidaknya...
Setidaknya aku berharap—
Bahwa di balik tatapan membenciku, ada sedikit saja keraguan di mata mereka.
Sedikit saja pertanyaan:
"Mengapa ia melakukan semua ini? mengapa penulis melakukan itu?"
Tapi pertanyaan itu selalu hilang ditelan oleh keyakinan akan kebenaran cerita.
Inilah suaraku yang tak terdengar, di balik gemuruh tepuk tangan untuk sang pahlawan.
Aku, Adrian Thorne.
Penjahat yang terkutuk untuk hidup dalam bayang-bayang...
Dan menghilang dalam kegelapan setiap kali tirai cerita ditutup.
Dunia ini tidak seindah yang kamu harapkan dimana setiap kisah berakhir dengan heppy ending.
[End]