Aku menemukannya lagi di kafe kecil yang dulu sering kami datangi—masih di sudut yang sama, duduk sendiri, dengan buku yang tak pernah benar-benar ia baca.
Seperti ada yang menghantam dadaku saat mata kami bertemu. Luka lama itu, yang kukira sudah sembuh, tiba-tiba menganga lagi.
"Ara..." suaranya nyaris berbisik, tapi bagiku terdengar lebih keras dari suara apa pun di dunia ini.
Aku berjalan mendekat, seolah tubuhku tahu harus ke mana sebelum otakku sempat berpikir. Duduk di hadapannya, tanpa berkata apa-apa. Hanya menatap. Hanya merasakan.
"Kamu baik-baik aja?" tanyanya, dengan tatapan yang terlalu lembut, terlalu familiar.
Aku ingin berbohong, bilang hidupku sempurna tanpanya. Tapi mata itu—mata yang pernah menghapus seluruh ketakutanku—tak pantas dibalas dengan dusta.
"Enggak," jawabku jujur. "Sejak kamu pergi, aku enggak pernah benar-benar baik."
Ia menunduk, jemarinya gemetar saat menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin. "Aku bodoh... membiarkanmu pergi waktu itu."
Keheningan mengendap di antara kami. Ada terlalu banyak kenangan, terlalu banyak kata-kata yang tak pernah diucapkan.
"Aku juga salah," kataku lirih. "Aku terlalu takut. Takut mencintaimu lebih dari aku mencintai diriku sendiri."
Ia mengangkat wajah, matanya basah. "Kalau aku bilang aku masih di sini, masih untukmu, apa kamu mau coba lagi?"
Aku menutup mata sebentar, membiarkan luka-luka lama bernafas sekali lagi sebelum akhirnya perlahan kuletakkan.
Saat kubuka mata, aku tersenyum, kecil tapi nyata.
"Pelan-pelan," kataku. "Sampai luka ini pulih."
Dia mengulurkan tangannya, menunggu tanpa memaksa. Aku meraihnya, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa... pulang.