Hujan turun deras malam itu. Di bawah atap halte tua, aku menunggu—bukan sekadar menunggu reda, tapi menunggu dia.
Raka.
Nama yang sempat kusebut dalam doa, kutahan dalam tangis, kukunci dalam ingatan.
Aku tak pernah berpikir akan bertemu lagi, apalagi seperti ini. Tiga tahun berlalu setelah malam terakhir kita bertengkar hebat, dengan kata-kata tajam yang bahkan aku sendiri sesali.
Aku menarik napas dalam-dalam saat sosok itu muncul, berjalan pelan menembus kabut hujan. Jaketnya basah, rambutnya lepek menempel di dahinya. Tapi mata itu... masih sama. Hangat, dan membuat dadaku sesak.
"Raka..."
Suara itu keluar begitu saja dari bibirku, rapuh dan gemetar.
Dia berhenti di depanku, hanya berjarak satu langkah. Matanya menatapku dalam-dalam, seakan ingin mengingat lagi setiap garis di wajahku yang mungkin sudah berubah.
"Aku pikir aku sudah selesai denganmu," katanya pelan, tapi suaranya pecah, mengkhianati apa yang ia rasakan. "Ternyata aku cuma berbohong pada diriku sendiri."
Aku mengatupkan mulut, menahan air mata. Hujan semakin lebat, tapi di antara kami, keheningan itu lebih bising.
"Aku juga," bisikku. "Aku... aku belum pernah benar-benar melepaskanmu."
Raka mendekat, membiarkan jarak itu menghilang. Tangannya, yang dulu begitu akrab, kini ragu-ragu menyentuh pipiku. Aku memejam, merasakan kehangatan yang lama hilang.
"Kalau aku bilang aku mau mulai lagi, dari awal, maukah kamu?" tanyanya, suaranya serak.
Aku membuka mata, dan di antara derasnya hujan, aku tersenyum sambil menangis.
"Ya," jawabku, suara kecil tapi penuh keyakinan. "Sekali lagi, untukmu."
Dan di bawah langit yang menangis bersama kami, dua hati yang pernah patah belajar untuk berdetak bersama lagi.