Suara dering itu datang saat jam hampir menunjukkan tengah malam.
Aku baru saja akan mematikan lampu kamar, saat ponselku bergetar lirih di atas meja.
Nomor tak dikenal.
Aku ragu, tapi rasa ingin tahu mengalahkan logika.
Kujawab panggilan itu.
“Halo?”
Di ujung sana, ada napas. Panjang, dalam. Seolah seseorang baru saja berlari jauh dan kini hanya bisa mengatur napas dengan susah payah.
“Lama sekali kau mengangkat,” suara itu berkata, nyaris seperti desahan.
Suaranya asing, tapi… terasa dekat. Terlalu dekat, seperti bisikan yang langsung menyentuh kulitku. Aku bergidik.
“Siapa ini?” tanyaku, suaraku serak.
Dia tertawa kecil.
“Aku yang selalu kau tunggu, bukan?”
Aku membuka mulut untuk membantah, tapi lidahku kelu.
Ada sesuatu dalam suaranya—sesuatu yang menarikku masuk, membungkusku dalam kabut tipis.
“Aku ingin lebih dekat,” lanjutnya.
Tanpa sadar, aku mendekatkan ponsel ke telinga, seolah jarak fisik bisa dihapuskan lewat gelombang suara.
Dan di situlah semua menjadi kabur.
Aku bisa merasakan bibir yang tak terlihat menyusuri kulitku, seolah sambungan telepon itu menjadi jembatan antara dunia ini dan dunia lain. Nafasnya hangat di leherku, meski aku tahu… aku sendirian di kamar ini.
Sentuhan itu tidak nyata, tapi terasa lebih nyata dari apa pun yang pernah kurasakan.
Tangan yang tidak berbentuk membelai bahuku, turun perlahan ke sepanjang tulang punggung.
Aku mendesah pelan, suara itu terkekeh, puas.
“Tak perlu takut,” katanya lembut.
“Kau milikku malam ini.”
Aku tak tahu berapa lama kami bercumbu dalam jarak yang mustahil itu. Antara sadar dan mimpi, antara ilusi dan kebenaran. Yang kutahu, setiap napas, setiap bisikan di telepon itu, menarikku lebih dalam ke dalam sesuatu yang tidak bisa kulawan.
Saat akhirnya sambungan itu terputus, aku terjatuh di lantai, tubuhku gemetar.
Ponselku mati.
Layarnya hitam, retak halus membelah permukaannya.
Dan di dalam keheningan kamar yang dingin, aku mendengar suara bisikan terakhir—bukan dari telepon, tapi langsung di telingaku:
“Kau tak akan pernah benar-benar sendiri.“