Hari-hari Dewa selalu sama.
Matahari terbit, membanjiri kamarnya yang sempit dengan cahaya pucat. Ia membuka mata perlahan, membiarkan sinar itu membakar wajahnya, lalu kembali memejamkan mata seolah berharap hari itu tak pernah benar-benar dimulai.
Kamarnya adalah dunianya.
Empat dinding berwarna pudar, rak buku berdebu, meja kerja yang penuh kabel dan kertas kusut. Di pojok, televisi tua yang hampir selalu mati. Dan satu jendela kecil yang menghadap ke gang sepi, tempat tak ada satu pun orang lewat.
Dewa tidak keluar rumah. Tidak pernah.
Sudah bertahun-tahun.
Ia berkata pada dirinya bahwa dunia luar terlalu ribut, terlalu banyak hal yang tidak bisa dikendalikan. Di dalam kamarnya, ia tahu setiap suara, setiap bayangan, setiap detik yang berlalu. Aman.
Namun perlahan, kamar itu mulai berbicara.
Saat malam tiba dan lampu dipadamkan, ia mendengar dinding-dinding bergumam. Bisikan kecil, samar, mengalir dari celah-celah lantai. Kadang ia mendengar suara ketukan halus, seperti ada yang meminta masuk.
Dewa tahu itu hanya pikirannya.
Atau setidaknya, ia berharap begitu.
Pada suatu malam yang basah, ketika hujan mengetuk kaca jendelanya dengan ritme tak beraturan, ia duduk di lantai, membelakangi pintu.
Merasakan berat dunia menindih punggungnya.
Ia membayangkan seandainya ia membuka pintu itu, keluar, menembus dinginnya hujan… mungkin ada orang di luar sana. Seseorang yang menunggu. Seseorang yang bisa mendengarnya.
Tapi suara lain di kepalanya berbisik:
“Untuk apa? Tidak ada yang mencarimu. Tidak ada yang merindukanmu. Tidak ada yang ingat kau pernah ada.”
Dewa menutup telinganya, menggenggam lututnya erat-erat.
Hujan semakin keras.
Bayangan di kamar mulai memanjang, bergerak sendiri, menari di antara kilatan lampu jalan yang tembus lewat jendela.
Ia menatap cermin kecil di dinding. Sosok di dalamnya bukan lagi dirinya. Wajah itu tampak asing, kosong, menatapnya dengan mata mati.
Ia bergumam pelan, suara yang hampir tak terdengar:
“Aku masih di sini… aku masih nyata…”
Tapi kamar itu hanya diam.
Sunyi yang dingin merayap ke seluruh sudut ruangan, membungkus tubuhnya dalam ketakutan yang lembut, perlahan menghapus batas antara dirinya dan dinding-dinding tua itu.
Sampai akhirnya Dewa tak lagi tahu: apakah ia masih tinggal di dalam kamar itu—atau apakah kamar itu yang kini tinggal di dalam dirinya.