Sore itu, langit menggantung kelabu. Hujan turun deras, membasahi aspal yang retak-retak. Persimpangan itu sunyi, hanya lampu jalan kuning pucat yang berpendar temaram, memantulkan bayangan kabur di genangan air.
Rino berdiri di bawah rintik, mengenakan jaket tipis yang sudah basah. Ia memandang ketiga arah di depannya: jalan kiri yang mengarah ke hutan kecil, jalan tengah yang lurus ke kota, dan jalan kanan yang tampak mengarah ke bukit berbatu.
Tak ada siapa pun. Tak ada suara selain gemuruh hujan.
Ponselnya mati. Tidak ada sinyal. Ia seharusnya sudah sampai di rumah temannya sebelum malam, tapi entah kenapa GPS mengarahkannya ke sini—tempat yang bahkan tak ada di peta.
Sebuah bunyi klakson samar terdengar dari kejauhan. Rino menoleh, namun jalanan tetap kosong. Hanya kabut yang merayap perlahan dari arah hutan.
Saat ia hendak melangkah ke jalan tengah, suara langkah kaki terdengar dari belakang.
Plok… plok… plok…
Pelan, berat, mendekat.
Rino membalik badan.
Tidak ada siapa pun.
Tapi jejak kaki—bekas sepatu basah—mulai muncul di genangan air, satu demi satu, membentuk jalur lurus ke arahnya.
Dia mundur, jantung berdebar liar. Setiap langkah mundurnya, jejak itu semakin mendekat, padahal tidak ada wujud di ujungnya.
Tiga jalan.
Tiga pilihan.
Ia harus memilih.
Rino berlari ke arah jalan kiri, menuju hutan. Hujan semakin deras, pepohonan bergoyang liar diterpa angin. Tapi saat ia berlari, langkah-langkah tak kasat mata itu mengikutinya—lebih cepat, lebih berat, nyaris menghempas tanah.
Ia tergelincir dan jatuh ke tanah becek. Saat mencoba bangkit, ia melihat sesuatu: sebuah sosok samar, tinggi, berbalut kain kelabu, berdiri tak jauh di antara pepohonan, wajahnya kabur seperti tertutup kabut.
Sosok itu menunjuk ke arah lain.
Ke arah jalan yang belum ia pilih.
Dengan tubuh gemetar, Rino berbalik. Tapi jalanan di belakangnya sudah berubah—bukan lagi persimpangan biasa, melainkan lorong sempit berliku yang dipenuhi bayangan hitam bergoyang.
Suara bisikan berputar di sekelilingnya, entah dari mana:
“Salah jalan.”
“Tak ada kembali.”
“Selamat datang di antara…”
Langit semakin gelap. Hujan menelan dunia. Dan Rino berlari ke dalam kegelapan, ke tempat di mana waktu dan arah tak lagi berarti.
Ia tidak pernah ditemukan.
Persimpangan itu tetap ada, menunggu orang berikutnya yang tersesat.
Rino berlari menyusuri lorong sempit itu, napasnya memburu. Bayangan di sekeliling bergerak mengikuti—seperti sosok-sosok tanpa bentuk yang hanya hidup dari sudut matanya.
Setiap langkah membawa Rino lebih dalam, lebih jauh dari dunia nyata. Suara hujan perlahan menghilang, digantikan desis aneh, seperti bisikan ratusan mulut di kegelapan.
Lorong itu berliku, tidak beraturan. Dindingnya tidak sepenuhnya nyata, kadang terasa keras seperti batu, kadang lunak seperti daging basah. Beberapa kali, Rino hampir terjatuh saat lantainya tiba-tiba bergoyang seolah hidup.
Di satu belokan, ia mendapati pintu kayu kecil.
Tanpa berpikir, ia mendorongnya terbuka.
Ruangan itu gelap. Di tengahnya ada meja tua, dan di atas meja, sebuah buku besar yang basah oleh air hujan.
Saat Rino mendekat, ia melihat bahwa halaman-halaman buku itu berisi daftar nama.
Dan di halaman terakhir—
tertera namanya.
RINO ARDIANTO
Tanggal Masuk: Hari Ini.
Tangannya gemetar. Ia membalik halaman sebelumnya.
Semua nama di situ dicoret kasar dengan tinta hitam—seolah-olah mereka pernah di sini, mencoba keluar, dan… gagal.
Tiba-tiba, pintu di belakangnya tertutup keras.
Ruangan itu bergetar.
Dari bayang-bayang, sosok berjubah kelabu muncul, sama seperti yang ia lihat di hutan. Kini lebih jelas: wajahnya bukan tertutup kabut—melainkan tidak ada wajah sama sekali. Hanya permukaan datar berwarna abu-abu pudar.
Sosok itu berbicara, suaranya terdengar di kepala Rino, berat dan hampa:
“Setiap orang yang memilih jalan salah… menambah kekuatan tempat ini.”
Rino mundur, berusaha menahan ketakutan yang mencengkeram dadanya.
Ia mencoba bertanya, berteriak, memohon. Tapi mulutnya tak mau terbuka.
Hanya satu suara yang terus bergema:
“Tugasmu kini sederhana, Rino. Pilih penggantimu. Cari jiwa lain yang akan kau bawa ke persimpangan.”
Dengan horor yang tak bisa dijelaskan, Rino menyadari: untuk bebas dari tempat ini, ia harus membuat orang lain tersesat, seperti dirinya.
Dari kegelapan, sebuah pintu kecil terbuka—mengarah kembali ke dunia nyata.
Di ambang pintu, Rino melihat kota dalam hujan, lampu kendaraan, kehidupan normal.
Tapi di dadanya kini ada beban lain:
ia bukan lagi Rino yang sama.
Ia adalah bagian dari persimpangan itu.
Penjaga baru.
Dan di luar sana, di jalan basah menuju senja, seseorang lainnya tengah mencari arah… dan sebentar lagi, giliran mereka untuk memilih jalan yang salah.