Langit siang terasa mendung saat tiga mahasiswa kedokteran berjalan memasuki bangunan tua Rumah Sakit Jiwa Harapan Sejahtera. Mereka mengenakan jas putih dengan name tag masing-masing: Ryan, Jamal, dan Janice. Hari itu, mereka dijadwalkan untuk memulai rotasi di bidang psikiatri, sebuah bagian dari pendidikan mereka yang selama ini hanya mereka pelajari lewat buku dan jurnal.
Seorang perawat senior bernama Bu Rini melangkah santai di depan mereka, memimpin tur singkat ke berbagai fasilitas rumah sakit.
"Selamat datang di RSJ Harapan Sejahtera," katanya dengan senyum ramah. "Selama beberapa minggu ke depan, kalian akan mempelajari berbagai macam gangguan jiwa dan cara menanganinya. Tapi ingat, pasien-pasien di sini bukan sekadar kasus. Mereka adalah manusia yang memiliki cerita masing-masing."
Ryan, yang sejak awal paling antusias, mengangguk. "Jadi, hari ini kami akan mengamati pasien, Bu?"
"Benar," jawab Bu Rini. "Tapi ingat, pendekatan ke pasien psikiatri berbeda dengan pasien medis lainnya. Kalian harus lebih sabar dan memahami cara mereka melihat dunia."
Mereka melewati ruang konsultasi, tempat pasien bertemu dengan psikiater dan psikolog. Lalu, mereka melewati ruang terapi kelompok, di mana beberapa pasien duduk dalam lingkaran, berbicara dengan seorang terapis. Ada juga ruang isolasi, tempat pasien dengan gangguan akut dirawat sementara agar tidak membahayakan diri sendiri atau orang lain.
Saat mereka melewati sebuah taman kecil di dalam rumah sakit, Jamal tiba-tiba berhenti melangkah. Matanya terpaku pada seorang wanita yang duduk sendirian di bangku kayu, membaca sebuah buku dengan tenang.
Wanita itu tampak anggun. Rambutnya hitam panjang, rapi, dan wajahnya teduh. Tidak ada ekspresi gelisah atau agresif seperti pasien lain yang mereka temui di sepanjang lorong tadi.
Jamal menyipitkan mata. "Bu, dia pasien?" tanyanya, sedikit tak percaya.
Bu Rini mengikuti arah pandangan Jamal dan menghela napas kecil sebelum menjawab.
"Ya," katanya pelan. "Namanya Dewi. Dia sudah lama di sini. Dan dia... berbeda dari pasien lainnya."
Janice menatap Dewi dengan rasa penasaran. "Apa penyakitnya, Bu? Dia terlihat... normal."
Bu Rini menatap Dewi sejenak, lalu berbalik menatap ketiga mahasiswa itu dengan tatapan serius.
"Dia masih menunggu seseorang yang tak akan pernah kembali."
**********
Ryan membeku.
Ia tidak sempat bereaksi ketika Bu Dewi tiba-tiba berdiri dan menghampirinya. Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, wanita itu menatapnya dalam-dalam, seolah baru saja menemukan seseorang yang telah lama hilang.
"Arga..." bisiknya lirih.
Ryan merasa jantungnya berdegup lebih kencang.
"Kau ingat padaku?"
Tanpa peringatan, Bu Dewi meraih Ryan dalam pelukannya. Tangannya gemetar, namun genggamannya erat, seakan takut kehilangan lagi. Tangisnya pecah di dada Ryan, suara isaknya terdengar pilu, bukan tangisan histeris, tapi lebih seperti kelegaan yang menyakitkan—seolah pertemuan ini adalah momen yang telah ia nanti bertahun-tahun lamanya.
Ryan, Jamal, dan Janice saling berpandangan, tak tahu harus berbuat apa. Perawat Rini segera melangkah maju, berusaha menenangkan Bu Dewi.
"Bu Dewi, ini bukan Arga... Ini Ryan, dia mahasiswa yang sedang observasi di sini," katanya lembut.
Tapi Bu Dewi menggeleng, matanya masih penuh harapan.
"Tidak... Tidak mungkin. Aku tahu ini kau, Mas Arga. Aku mengenal matamu, tatapanmu. Kau kembali... Kau akhirnya kembali untukku!"
Ryan merasa tubuhnya menegang. Ia ingin melepas pelukan itu, tapi sesuatu dalam suara Bu Dewi membuatnya tidak tega. Ada kepedihan yang begitu dalam di sana, sesuatu yang lebih dari sekadar gangguan mental.
Jamal berbisik pada Janice, "Gila, ini kayak film..."
Janice hanya mengangguk pelan, matanya tidak bisa lepas dari Bu Dewi yang masih terguncang oleh emosinya.
Perawat Rini menghela napas panjang, lalu berbisik, "Sekarang kalian mengerti? Inilah Bu Dewi. Inilah alasan dia ada di sini."
Ryan menatap perawat itu dengan ekspresi bingung. "Apa yang sebenarnya terjadi padanya?" tanyanya, masih merasa tak nyaman dengan pelukan yang begitu erat dari wanita yang tidak ia kenal.
Bu Rini dengan sigap membantu melepaskan pelukan Bu Dewi dari Ryan. "Bu Dewi, ayo kita kembali ke kamar, ya. Sudah cukup untuk hari ini."
Bu Dewi masih terisak, tangannya berusaha meraih Ryan, namun perawat lain segera membantunya berdiri dan membawanya pergi dengan lembut. "Arga... jangan pergi lagi... tolong jangan tinggalkan aku lagi..." suaranya terdengar lirih saat ia dibimbing menuju kamarnya.
Ketiga mahasiswa itu masih berdiri di tempat, saling bertukar pandang dengan wajah penuh kebingungan.
Jamal mengusap wajahnya, "Gila... gue kira dia pasien biasa..."
Janice mengangguk pelan, "Dia kelihatan begitu normal... Sampai dia mulai menangis."
Ryan, yang masih merasa aneh dengan apa yang baru saja terjadi, akhirnya membuka suara, "Kenapa dia memanggilku Arga?"
Bu Rini menghela napas panjang, lalu mengajak mereka ke ruang istirahat khusus tenaga medis. "Duduklah, aku akan menjelaskan semuanya."
Ketiganya mengikuti tanpa banyak bicara. Mereka mengambil tempat di sofa ruangan itu, sementara Bu Rini menuangkan teh ke dalam cangkirnya. Ia mengaduk pelan, sebelum akhirnya menatap mereka dengan serius.
"Dewi bukan sekadar pasien biasa," Bu Rini memulai. "Dulu, dia adalah seorang wanita yang penuh harapan. Ia memiliki tunangan yang sangat ia cintai, namanya Arga. Mereka sudah berpacaran bertahun-tahun dan sedang merencanakan pernikahan."
Ryan, Janice, dan Jamal terdiam, mendengarkan dengan seksama.
"Dewi dan Arga telah mempersiapkan segalanya. Gaun pengantin, undangan, cincin pernikahan... Semuanya sudah siap. Hanya tinggal menunggu hari bahagia mereka tiba."
Bu Rini menyesap tehnya sebelum melanjutkan. "Tapi, beberapa minggu sebelum pernikahan... Arga menghilang."
Janice menegang. "Menghilang?"
Bu Rini mengangguk. "Tidak ada kabar, tidak ada pesan, tidak ada jejak. Dewi mencoba menghubunginya berkali-kali, tapi tidak ada jawaban. Ia mencari ke rumah Arga, ke kantornya, bahkan menanyakan ke teman-teman mereka. Namun Arga benar-benar lenyap seperti ditelan bumi."
Ryan menggigit bibirnya. Ia bisa membayangkan betapa menyakitkan situasi itu bagi seorang wanita yang sudah siap menikah.
"Dewi sangat terpukul," lanjut Bu Rini. "Ia kehilangan nafsu makan, sulit tidur, dan terus menangis setiap malam. Tapi yang lebih menyakitkan adalah... setelah beberapa tahun penuh kebingungan dan penantian, sebuah undangan pernikahan tiba di tangannya."
Jamal terbelalak. "Jangan bilang..."
Bu Rini menatapnya, lalu mengangguk. "Benar. Itu adalah undangan pernikahan Arga... dengan wanita lain."
Suasana di ruangan itu mendadak hening.
Ryan menelan ludah. "Astaga..."
Janice menggeleng tak percaya. "Bagaimana bisa...?"
Bu Rini menghela napas, menatap mereka dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Dewi datang ke pernikahan itu. Ia ingin tahu apakah semua ini benar. Dan ketika ia melihat Arga berdiri di altar bersama pengantinnya, ia tidak hanya kehilangan harapan... ia kehilangan akal sehatnya."
Jamal bersandar ke belakang, merasa sesak hanya dengan membayangkannya.
"Dan sejak saat itu," lanjut Bu Rini pelan, "Dewi tidak pernah bisa melepas cincinnya."
Ketiga mahasiswa itu menoleh, menatap satu sama lain dengan kebingungan.
"Cincinnya?" tanya Ryan. "Tapi tadi aku tidak melihat ada cincin di jarinya..."
Bu Rini menatapnya tajam sebelum berkata,
"Karena cincin itu... hanya ada dalam pikirannya."
**********
Kenangan Dewi & Arga
Dewi masih mengingat hari itu dengan sangat jelas—sore yang hangat di bawah langit jingga, ketika matahari mulai bersembunyi di ufuk barat. Mereka duduk berdampingan di tepi danau kecil, tempat favorit mereka sejak masih kuliah. Airnya memantulkan warna senja, menciptakan kilauan yang indah seperti butiran emas yang terapung di permukaannya.
Arga menggenggam tangan Dewi, mengusap jemarinya dengan lembut. "Tanganmu selalu hangat," katanya sambil tersenyum.
Dewi tersipu. "Kamu selalu bilang begitu," ia menunduk, merasakan jantungnya berdebar tenang dalam kehangatan genggaman pria yang ia cintai.
Arga menatapnya lekat-lekat, seakan ingin mengukir setiap detail wajahnya dalam ingatan. "Aku ingin ini selamanya, Dew."
Dewi menoleh, mata mereka bertemu dalam keheningan yang sarat dengan makna. "Apa?"
Arga tersenyum, lalu perlahan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil dari sakunya.
Dewi membekap mulutnya, matanya melebar.
"Aku ingin menggenggammu seperti ini selamanya," Arga berbisik, membuka kotak itu, memperlihatkan sepasang cincin perak dengan ukiran nama mereka di bagian dalamnya. "Menikahlah denganku."
Udara di sekitar mereka terasa berhenti sejenak. Waktu seakan melambat saat Dewi menatap cincin itu, lalu beralih pada wajah Arga yang penuh harap.
Matanya mulai berkaca-kaca. "Arga..."
Pria itu tersenyum lembut. "Aku tidak butuh jawaban sekarang, tapi aku ingin kamu tahu, aku siap menjalani hidup ini bersamamu. Aku ingin kita membangun rumah kecil, menanam bunga di halaman, dan setiap malam, aku ingin pulang ke pelukanmu."
Dewi tertawa kecil, air matanya jatuh sebelum sempat ia tahan. "Kamu membuatnya terdengar sangat mudah."
Arga mengangkat bahu. "Kalau sama kamu, aku yakin semuanya akan jadi mudah."
Dewi menghela napas gemetar, menatap cincin itu sekali lagi, lalu mengulurkan tangannya. Arga dengan hati-hati menyematkan cincin di jari manisnya.
Pas.
Dewi menatap cincin itu, seakan tak percaya. Ia menggerakkan jarinya pelan, merasakan lingkaran logam itu menyatu dengan kulitnya. Seakan-akan itu sudah ada di sana sejak dulu, menunggu momen ini untuk benar-benar menjadi miliknya.
"Kita akan selalu bersama, kan?" tanya Dewi, suaranya bergetar.
Arga menggenggam kedua tangannya erat, lalu mengecup jemarinya dengan lembut. "Selamanya, Dew."
Senja itu menjadi saksi janji mereka. Sebuah janji yang terasa begitu nyata, begitu abadi—atau setidaknya, begitulah yang Dewi yakini.
**********
Dewi duduk di sudut kamarnya yang redup, jari-jarinya terus mengusap cincin tak kasatmata di tangan kirinya. Matanya menerawang kosong ke arah jendela, namun bibirnya melengkung dalam senyum tipis. Seolah ia sedang melihat sesuatu yang tak tampak oleh orang lain.
"Arga... kau ingat janji kita?" bisiknya lirih, suaranya bergetar seperti desiran angin malam.
Ia terkekeh pelan, lalu tertawa kecil. Tertawa yang terdengar janggal, seperti seseorang yang berbicara dengan bayangan yang hanya ada dalam pikirannya.
Di atas meja kecil di samping ranjangnya, ada sebuah buku lusuh berjudul "Once A New Moon". Halaman-halamannya telah usang, beberapa bagian robek, tapi Dewi tetap membawanya ke mana-mana. Itu bukan sekadar buku—itu adalah peninggalan dari "dunianya" yang kini telah hancur.
Tiba-tiba, ia berdiri dan melangkah ke cermin besar di sudut ruangan. Tangannya menyentuh bayangannya sendiri, menatap matanya yang mulai berair.
"Sayang, aku tahu kau akan menjemputku... Aku sudah siap..."
Air mata mulai menetes, namun senyumnya tetap mengembang.
Tiba-tiba, pintu terbuka. Perawat Rini melangkah masuk bersama Ryan, Jamal, dan Janice yang mengamati dari belakang. Mereka baru saja mendengar tawa Dewi yang ganjil, dan sekarang menyaksikan pemandangan yang lebih membuat bulu kuduk meremang.
Dewi berbicara pada cermin.
"Kita akan menikah, kan, Sayang? Kau tidak akan meninggalkanku... Kan?"
Ia tertawa kecil, lalu tiba-tiba berhenti. Tawa itu menghilang seketika, berganti dengan ekspresi ketakutan. Ia mundur beberapa langkah, menatap cermin dengan ngeri.
"Tidak... Jangan bilang kau lupa, Arga... Jangan bilang kau melupakanku!"
Tubuhnya mulai gemetar, matanya menatap kosong ke arah bayangannya sendiri. Jarinya mencengkeram gaun rumah sakit yang lusuh, napasnya memburu.
Perawat Rini mendekat dengan hati-hati. "Bu Dewi, sudah waktunya minum obat."
Namun Dewi menggeleng keras, lalu berbisik pelan, "Aku harus pergi... Aku harus menemui Arga... Dia menungguku... Hari ini hari pernikahan kami..."
Ryan menelan ludah. Ia kini memahami apa yang dikatakan Bu Rini sebelumnya—Dewi tidak menunjukkan ciri-ciri gangguan jiwa secara kasatmata. Ia berbicara dengan tenang, tersenyum dengan hangat... tapi dunianya telah lama runtuh. Ia hidup dalam kenangan yang terus berulang, seolah terjebak dalam satu momen yang tak pernah berakhir.
Jamal mencatat sesuatu di buku kecilnya, sementara Janice berbisik pelan, "Ini... mirip seperti delusi dan PTSD berat, ya?"
Bu Rini mengangguk pelan. "Dewi mengalami gangguan psikosis dengan delusi cinta dan trauma berat. Sejak ditinggalkan calon suaminya, ia tidak pernah bisa menerima kenyataan. Ia masih percaya bahwa Arga akan datang menjemputnya dan menikahinya..."
Ryan menatap Dewi yang kini kembali tersenyum sendiri. Di matanya, ia bukan lagi pasien. Ia adalah seseorang yang hatinya telah hancur begitu dalam hingga pikirannya menciptakan realitas lain—realitas di mana ia masih dicintai dan tidak ditinggalkan.
Sebuah realitas yang hanya ada dalam kepalanya.
**********
Setelah insiden di ruang perawatan tadi, para mahasiswa kedokteran itu merasa semakin penasaran dengan kondisi Bu Dewi. Perawat Rini menyarankan agar mereka mengunjungi pasien secara bergantian untuk mengobservasi lebih lanjut.
Jamal dan Janice melangkah masuk ke kamar Bu Dewi dengan hati-hati. Wanita itu sedang duduk di tepi ranjang, buku lusuh Once A New Moon tetap di tangannya. Ia terlihat jauh lebih tenang dibandingkan sebelumnya.
"Selamat siang, Bu Dewi," sapa Janice lembut.
Bu Dewi menoleh dan tersenyum ramah, seperti orang biasa pada umumnya. "Oh, selamat siang. Kalian mahasiswa kedokteran yang kemarin, ya?"
"Benar, Bu," Jamal mengangguk. "Kami ingin berbincang sedikit dengan Ibu, kalau Ibu berkenan."
Bu Dewi menutup bukunya dengan hati-hati. "Tentu saja. Kalian ingin tahu tentang apa?"
Janice dan Jamal saling bertukar pandang. Ini... terasa aneh. Bu Dewi tidak menunjukkan gejala gangguan jiwa yang mencolok. Ia berbicara dengan jelas, tenang, dan bahkan sadar dengan keberadaan mereka. Tidak ada kesan bahwa ia mengalami delusi berat.
"Bu Dewi, apa Ibu sudah lama di sini?" tanya Janice hati-hati.
Bu Dewi tersenyum tipis. "Cukup lama. Mereka bilang aku butuh waktu untuk pulih. Tapi aku tidak sakit, kan? Aku masih bisa berbicara dengan baik, membaca, berpikir jernih..."
Jamal menelan ludah. Kata-kata itu terdengar benar, tapi ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dalam sorot mata Bu Dewi—sesuatu yang kosong, seperti seseorang yang terjebak dalam bayangannya sendiri.
Mereka berbicara sebentar lagi, membahas hal-hal ringan. Tak ada kejadian aneh, tak ada ledakan emosi. Setelah sekitar lima belas menit, mereka berpamitan dengan lega.
"Menurutmu gimana?" bisik Janice saat mereka keluar dari kamar.
Jamal menggeleng. "Aku... nggak yakin. Dia terlihat stabil. Mungkin diagnosisnya salah?"
Namun, Bu Rini yang mendengar percakapan mereka hanya tersenyum kecil. "Tunggu sampai Ryan masuk."
Sore itu, giliran Ryan yang masuk ke kamar Bu Dewi, ditemani Bu Rini.
Saat pintu terbuka, Dewi masih duduk di tempat yang sama. Buku yang tadi dibacanya kini tergeletak di pangkuannya, dan tatapannya menerawang ke luar jendela.
"Bu Dewi?" panggil Ryan pelan.
Dewi menoleh perlahan. Begitu melihat Ryan, senyumnya perlahan mengembang. Namun, ada sesuatu yang berbeda di matanya kali ini—sebuah kilatan emosi yang sulit diartikan.
Ryan melangkah lebih dekat. "Saya Ryan, Bu. Mahasiswa kedokteran yang sedang observasi di sini."
Dewi tak menjawab. Matanya terus menatap Ryan, dan tiba-tiba, bibirnya bergetar. Air mata mulai menggenang.
Lalu, dengan suara gemetar, ia berbisik, "Arga...?"
Ryan terkejut. "Bu Dewi?"
Namun wanita itu tiba-tiba berdiri dan berjalan cepat ke arahnya. Sebelum Ryan sempat bereaksi, Dewi sudah meraih tangannya, menggenggam erat, dan memandangnya dengan tatapan penuh harapan.
"Arga, kau datang..." suaranya bergetar di antara isak tangis. "Aku tahu kau tidak melupakanku... Aku tahu kau akan datang menjemputku... Hari ini, kan? Hari pernikahan kita..."
Ryan membeku di tempat. Napasnya tercekat, tubuhnya menegang.
Bu Rini segera melangkah maju. "Bu Dewi, ini bukan—"
Namun Dewi tidak mendengarkan. Ia terisak dan memeluk Ryan erat, seakan pria itu adalah dunia terakhir yang ia miliki.
"Aku sudah lama menunggumu, Sayang... Aku sudah mengenakan cincinku... Lihat..."
Tangannya terangkat, menunjukkan jari manisnya yang kosong. Tapi yang lebih menyeramkan adalah gerakan jarinya—seolah ia benar-benar menyentuh cincin yang tidak ada di sana.
"Aku tahu ini semua hanya mimpi buruk... Kita bisa pulang sekarang, kan? Kita akan menikah... Kau tidak akan meninggalkanku lagi, kan?"
Ryan benar-benar tak bisa berkata-kata. Ia bisa merasakan pelukan Dewi yang erat, bisa mendengar tangisannya yang terdengar begitu nyata, begitu dalam...
Namun, yang paling membuatnya merinding adalah satu hal:
Dewi benar-benar percaya bahwa ia adalah Arga.
"Arga... jangan pergi lagi... Kumohon... Jangan tinggalkan aku lagi..."
Tubuhnya mulai bergetar, napasnya memburu. Air mata mengalir deras di pipinya.
Bu Rini segera bertindak, melepaskan pegangan Dewi dengan lembut. "Bu Dewi, tenang... Ini bukan Arga. Ini Ryan."
Namun Dewi semakin panik. Ia meronta, berusaha meraih Ryan kembali.
"Jangan bohong! Dia Arga! Aku tahu dia Arga! Aku tahu tatapan itu! Jangan ambil dia dariku lagi!"
Ryan mundur dengan dada yang masih berdebar, sementara dua perawat lain masuk untuk membantu menenangkan Dewi. Wanita itu akhirnya didudukkan di ranjang, tubuhnya masih bergetar hebat.
Sementara itu, Ryan melangkah ke luar dengan napas tersengal, masih bisa merasakan bagaimana Dewi memeluknya tadi.
Janice dan Jamal menatapnya dengan penuh tanya.
"Dia..." Ryan mengusap wajahnya, masih berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. "Dia benar-benar terjebak dalam kenangannya."
Bu Rini menghela napas panjang. "Sekarang kalian mengerti?"
Ketiganya mengangguk pelan, tatapan mereka kini berbeda—bukan hanya sekadar observasi medis lagi.
Ini adalah luka. Luka yang terlalu dalam hingga seseorang lebih memilih hidup dalam ilusi daripada menghadapi kenyataan.
**********
Suasana kafe cukup tenang malam itu. Lampu-lampu gantung berpendar lembut, aroma kopi bercampur dengan bau pastry hangat. Jamal, Janice, dan Ryan memilih duduk di meja sudut dekat jendela.
Ryan masih terlihat sedikit terguncang. Tangannya menggenggam cangkir kopi yang belum disentuh. Sementara itu, Janice sedang mengaduk minuman coklat panasnya, dan Jamal menyantap potongan roti lapis dengan perlahan.
"Jadi... Bu Dewi," Janice membuka percakapan, suaranya pelan.
Jamal menghela napas. "Aku masih nggak percaya dia pasien gangguan jiwa. Maksudku, pas kita temui, dia kelihatan baik-baik saja."
Ryan akhirnya bersuara. "Tapi saat aku masuk ke kamarnya, dia..." Ia menelan ludah. "Dia benar-benar percaya aku adalah Arga."
Janice menatapnya lekat-lekat. "Gimana rasanya?"
Ryan diam sejenak. Matanya menatap kosong ke dalam cangkir kopinya. "Serem."
Jamal mengangguk. "Dari yang Bu Rini jelaskan, ini termasuk gangguan delusi, kan? Dia yakin banget Arga bakal datang, seolah-olah waktunya berhenti di hari pernikahannya yang batal."
Janice meletakkan sendoknya. "Berarti dia mengalami delusional disorder? Atau bisa juga semacam gangguan psikosis?"
Ryan mengusap wajahnya. "Mungkin lebih kompleks dari itu. Dia nggak sekadar delusi... Dia hidup dalam kenangan yang terulang terus-menerus. Seperti... trauma yang nggak pernah selesai."
Hening sejenak. Ketiganya sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Apa kalian dengar ceritanya?" tanya Janice akhirnya. "Bu Rini tadi bilang dia dan Arga sudah pacaran lama, mereka sudah mempersiapkan segalanya. Tapi di hari yang seharusnya jadi hari paling bahagia buatnya..."
"Arga menikah dengan perempuan lain," Jamal menyelesaikan kalimat itu dengan nada getir.
Ryan memejamkan mata sebentar. "Dan yang paling parah... Arga memberikan cincin yang sama pada istrinya. Cincin yang seharusnya untuk Bu Dewi."
Mereka bertiga terdiam.
Janice menatap kosong ke meja. "Bayangkan, kamu sudah mempersiapkan segalanya. Kamu sudah yakin ini jodohmu. Tapi tiba-tiba orang itu memilih orang lain, dan menikah dengan cincin yang kalian pilih bersama..."
Jamal bersandar di kursinya, menghela napas panjang. "Itu bukan sekadar patah hati. Itu... penghancuran total."
Ryan menggigit bibirnya. "Dan mungkin karena itulah dia nggak bisa keluar dari masa lalu. Dia memilih tetap hidup di dalamnya. Karena kalau dia menerima kenyataan..."
"Dunia yang dia kenal akan runtuh," Janice menyelesaikan kalimatnya pelan.
Suasana meja mereka kembali sunyi.
Di luar jendela, hujan mulai turun rintik-rintik. Lampu jalanan memantulkan genangan air di aspal, menciptakan bayangan yang berkilauan.
"Apa kita bisa menyembuhkan orang seperti Bu Dewi?" tiba-tiba Jamal bertanya.
Janice menggigit bibirnya. "Aku nggak tahu. Mungkin kalau ada terapi yang tepat... Tapi kalau traumanya terlalu dalam, mungkin dia akan terus seperti ini."
Ryan mengangkat pandangannya, menatap keluar jendela. Ingatannya masih dipenuhi tatapan Bu Dewi yang penuh harapan.
"Arga... jangan pergi lagi... Kumohon... Jangan tinggalkan aku lagi..."
Ryan merasakan bulu kuduknya meremang.
"Mungkin dia nggak butuh disembuhkan," katanya pelan. "Mungkin dia hanya ingin seseorang yang mengerti kenapa dia seperti itu."
Jamal dan Janice terdiam, merenungkan kata-kata itu.
Di luar sana, hujan terus turun. Membasahi malam, menyelimuti luka-luka yang tak terlihat.
**********
Hujan turun dengan lembut di jendela kamar Dewi. Suaranya menenangkan, seperti melodi yang menemani malam-malamnya yang panjang. Namun, tak ada ketenangan dalam hatinya.
Ia menatap kalender di meja. Garis-garis merah melingkari tanggal-tanggal tertentu—tanggal di mana Arga berjanji akan pulang. Namun, setiap lingkaran merah itu kini hanya menjadi simbol harapan yang hancur.
Sudah satu bulan sejak kepergian Arga.
Dewi menunggu.
Dua bulan berlalu.
Dewi masih menunggu.
Lima bulan.
Tak ada kabar.
Setahun.
Sepi.
Dua tahun.
Hanya keheningan yang menemani.
Setiap malam, ia tetap tidur di sisi ranjang yang sama, memastikan tempat di sebelahnya tetap kosong untuk Arga. Setiap pagi, ia menyiapkan dua cangkir kopi, meski hanya satu yang tersentuh. Setiap kali ponselnya bergetar, hatinya berdegup kencang, berharap itu Arga. Namun selalu, itu bukan dia.
Dewi mencoba mencari tahu.
Awalnya, ia menghubungi nomor Arga berkali-kali. Tapi tak pernah aktif. Ia mendatangi rumah orang tua Arga, tapi mereka hanya mengatakan bahwa putra mereka sedang dalam tugas. Dewi mencoba bertanya lebih jauh, tapi mereka hanya menghela napas dan menghindari tatapannya.
Dewi mulai gelisah.
Akhirnya, dengan tekad yang tak tergoyahkan, ia memutuskan untuk menyusul Arga ke tempat tugasnya.
Perjalanan itu tidak mudah. Ia harus menyeberangi pulau, menaiki kapal, lalu melanjutkan perjalanan dengan bus selama berjam-jam. Namun Dewi tidak peduli.
Ia tiba di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan dan perbukitan. Tempat yang asing, sunyi, dan jauh dari hiruk-pikuk kota. Ini adalah lokasi terakhir yang ia ketahui tentang Arga.
Dewi berjalan dari satu rumah ke rumah lain, bertanya pada penduduk setempat.
"Maaf, apakah Anda mengenal Arga? Seorang pria, tinggi, berkulit sawo matang, seorang tenaga medis yang bertugas di sini?"
Orang-orang hanya menggeleng. Beberapa tampak ragu-ragu, tapi tak ada yang benar-benar memberinya jawaban.
Hingga akhirnya, seorang pria tua menatapnya dengan penuh belas kasihan.
"Kau mencari Arga?" tanyanya pelan.
Dewi mengangguk cepat. "Ya! Apakah Anda tahu di mana dia?"
Pria tua itu terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang.
"Nak... sudah lama tak ada yang menyebut nama itu di sini."
Jantung Dewi berdetak kencang. "Maksud Anda?"
Pria tua itu menatapnya lekat-lekat, seakan ragu untuk mengatakannya. Namun akhirnya, dengan suara berat, ia berbisik,
"Arga... dia tak pernah kembali dari tugasnya."
Dewi merasakan dunia di sekelilingnya berputar. Kepalanya mendadak terasa ringan, sementara napasnya tercekat.
"Apa maksud Anda?" suaranya hampir tak terdengar.
Pria tua itu menatapnya dengan tatapan iba, lalu berkata,
"Arga menghilang... dua tahun yang lalu."
**********
Empat tahun telah berlalu.
Empat tahun penuh penantian.
Dewi tetap tinggal di rumahnya, di tempat yang penuh dengan kenangan tentang Arga. Ia menolak setiap perjodohan yang diatur oleh orang tuanya. Berkali-kali ibunya berkata, "Dewi, sudah waktunya kamu melanjutkan hidup. Arga tak pernah kembali. Kamu harus menerima kenyataan."
Tapi Dewi selalu menggeleng.
"Aku sudah berjanji, Bu."
Ia tetap menjaga cincin di jarinya, seolah itu adalah pengikat janji yang tak boleh dilanggar.
Lalu, suatu hari, sepupunya datang membawa sebuah undangan pernikahan.
"Dewi, kau ingat Indri? Dia akan menikah. Ini undangannya."
Dewi tersenyum samar. Indri adalah teman lama mereka. Dewi menerimanya dengan santai, sampai matanya jatuh pada nama mempelai pria.
"Arya Mahardika."
Tangannya gemetar. Jantungnya seperti berhenti berdetak. Nama itu...
"Ada apa, Dew?" sepupunya bertanya, heran melihat wajah Dewi yang mendadak pucat.
Dewi menelan ludah, matanya membeku pada satu kata: Arga.
Rizky Arga Pratama
Itu nama lengkap Arga.
Dewi merasa dunia di sekelilingnya berputar. Ia mencoba berpikir jernih. Ini pasti hanya kebetulan, bukan? Tapi... bagaimana mungkin?
Tangan Dewi mencengkeram undangan itu dengan erat. Suhu tubuhnya terasa turun, sementara pikirannya penuh dengan pertanyaan yang mengguncang.
Jika ini benar-benar Arga...
Lalu selama ini, ke mana dia?
Dan mengapa... dia akan menikah dengan orang lain?
**********
Hari itu, langit tampak cerah, tapi hati Dewi bagai mendung yang siap menumpahkan hujan. Tangannya gemetar saat melangkah masuk ke gedung pernikahan. Hatinya masih berusaha menyangkal, tapi setiap langkah yang diambil justru mendekatkannya pada kenyataan yang tak terbantahkan.
Dewi berdiri di antara tamu undangan, matanya menelusuri ruangan dengan perasaan campur aduk. Dekorasi megah, musik yang mengalun lembut, dan senyum bahagia terpancar dari wajah semua orang. Namun, bagi Dewi, semua itu terasa asing... kecuali satu hal.
Arga.
Di sana, di depan altar, berdiri pria yang selama ini ia tunggu.
Ia mengenakan jas pengantin berwarna putih, tampak gagah seperti yang selalu ia bayangkan. Tapi ada sesuatu yang terasa salah. Tatapan mata itu... dingin. Tidak ada cahaya kerinduan, tidak ada kebingungan melihatnya.
Seolah... Arga benar-benar telah melupakan dirinya.
Dewi hampir tak bisa bernapas. Ia ingin maju, ingin berteriak, ingin menanyakan semuanya langsung. Tapi tubuhnya seakan membatu di tempat.
Tiba-tiba, musik berhenti. Semua tamu berdiri.
Pengantin wanita datang.
Indri melangkah dengan anggun, tersenyum bahagia ke arah Arga. Dewi menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Perasaan perih menjalar ke seluruh dadanya.
Namun yang paling menyakitkan adalah ketika Arga menyambut Indri dengan senyuman lembut—senyuman yang dulu hanya miliknya.
Dewi tak tahan lagi. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya jatuh. Ia berbalik, melangkah keluar sebelum tubuhnya limbung dan dunianya benar-benar runtuh.
**********
Dewi duduk di tepi ranjangnya, jari manisnya masih sibuk mengusap sesuatu yang tak ada—cincin yang telah lama hilang, tapi tetap melekat dalam pikirannya. Matanya menatap kosong ke arah jendela, melihat hujan yang turun dengan perlahan.
Di luar kamarnya, Ryan berdiri bersama Bu Rini, memperhatikannya dari celah pintu. Napas Ryan terasa berat.
"Bagaimana seseorang bisa terjebak di masa lalu seperti itu?" pikirnya.
Bu Rini menghela napas, lalu berbisik, "Dewi selalu menunggu hujan turun... karena hari itu, saat ia meninggalkan pernikahan Arga, hujan turun deras sekali."
Ryan menoleh ke arah Bu Rini dengan kening berkerut.
"Dewi pingsan di depan gedung pernikahan. Saat dia sadar, dia sudah ada di rumahnya. Sejak saat itu, dia tidak lagi sama. Dia menolak makan, menolak bicara, bahkan menolak percaya bahwa Arga telah menikah dengan orang lain."
Ryan kembali melihat Dewi yang masih tenggelam dalam dunianya sendiri.
"Dewi tidak menerima kenyataan?" tanyanya pelan.
Bu Rini mengangguk. "Ia tetap percaya bahwa Arga akan kembali. Setiap hari, dia akan memakai gaun yang sama seperti saat terakhir kali mereka bertemu, membaca buku yang sama, dan mengusap jarinya seperti masih mengenakan cincin pertunangan mereka."
Ryan menelan ludah. Ada sesuatu dalam kisah ini yang membuat dadanya terasa sesak.
Tiba-tiba, Dewi menoleh ke arah pintu. Matanya menatap langsung ke Ryan.
"Kau datang," bisiknya dengan suara gemetar.
Ryan terdiam, tidak tahu harus berbuat apa.
Dewi tersenyum. "Arga... aku tahu kau akan kembali padaku."
Saat itu juga, tubuhnya lunglai, dan air matanya jatuh.
*********
Ryan berdiri terpaku di ambang pintu, jantungnya berdetak kencang saat tatapan Dewi terkunci padanya. Napas perempuan itu memburu, matanya membesar, dan tubuhnya bergetar hebat.
"Kau datang..." bisik Dewi, suaranya penuh getaran emosi.
Ryan menelan ludah. Kenapa setiap kali aku datang, kondisinya selalu memburuk?
Dewi tiba-tiba bangkit dari tempat tidur. Langkahnya gemetar namun pasti menuju Ryan, sementara Bu Rini dengan sigap bersiaga jika sesuatu terjadi. Namun Dewi tidak mengamuk. Ia hanya berdiri di depan Ryan, menatapnya dari dekat, seolah memastikan sesuatu.
"Tidak... ini tidak mungkin..." Dewi berbisik, air matanya mulai jatuh. "Arga...?"
Ryan terdiam. Arga?
Sebelum ia bisa bereaksi, Dewi mengangkat tangannya dan menyentuh wajah Ryan dengan lembut, seolah memastikan bahwa pria di hadapannya nyata.
"Kau kembali..." suara Dewi penuh kepedihan sekaligus kebahagiaan. "Kau masih mengingatku?"
Ryan menegang. Ia ingin menjauh, tetapi tatapan Dewi yang penuh harapan seolah mengunci langkahnya.
"Dewi, ini bukan Arga," Bu Rini berbicara dengan suara lembut, mencoba membawa Dewi kembali ke kenyataan.
Namun Dewi menggeleng dengan keras, matanya dipenuhi air mata.
"Tidak! Dia Arga! Aku mengenali wajah itu! Aku mengenali matanya!" Dewi menangis histeris.
Ryan memandang Bu Rini dengan kebingungan. "Kenapa dia bereaksi seperti ini padaku?"
Bu Rini menghela napas panjang. "Karena kau sangat mirip dengan Arga."
Ryan terkejut. "Apa?"
Bu Rini menatap Dewi dengan penuh iba. "Itulah alasan dia selalu kambuh saat melihatmu, Ryan. Kau mengingatkannya pada seseorang yang telah lama ia tunggu. Arga adalah cinta pertamanya—orang yang ia tunggu bertahun-tahun, namun justru menghilang begitu saja."
Ryan menelan ludah. Ia ingin menyangkal, tapi di dalam hatinya, ia tahu sejak awal ada sesuatu yang aneh dalam situasi ini.
Dewi masih terisak di depannya, lalu dengan suara lirih, ia berkata, "Rizky Arga Pratama"
Nama itu menggema di kepala Ryan. Matanya melebar. Jantungnya seakan berhenti berdetak.
"Apa... yang barusan Ibu katakan?" tanyanya dengan suara serak.
Dewi tersenyum kecil di tengah tangisannya. "Itu namamu... bukan?"
Ryan terhuyung ke belakang, seolah dunia tiba-tiba berguncang di sekelilingnya. Rizky Arga Pratama
Dengan tangan gemetar, ia merogoh ponselnya, membuka kontak seseorang yang sangat ia kenal.
"Ayah."
Matanya membelalak saat membaca nama lengkap ayahnya sendiri.
Rizky Arga Pratama
Dunia Ryan terasa runtuh. Dewi... adalah wanita yang telah lama ditinggalkan oleh ayahnya.
Dan kini, ia berdiri di hadapannya.
**********
Hujan turun perlahan sore itu, membasahi halaman Rumah Sakit Jiwa tempat Dewi menghabiskan harinya. Dari balik jendela kamarnya, ia menatap tetesan air yang mengalir di kaca, jemarinya masih menggenggam cincin yang tak pernah ada di jarinya.
Sejak pertemuan itu, Ryan tidak pernah kembali. Tidak ada kabar, tidak ada kunjungan. Hanya keheningan yang menemani Dewi, seperti bertahun-tahun sebelumnya saat ia menunggu Arga. Namun, berbeda dari dulu, kini ia merasa sedikit lebih ringan.
Entah mengapa, mengetahui bahwa Arga masih hidup—bahkan memiliki keluarga dan seorang putra—membuatnya merasa tenang, meskipun hatinya tetap hancur.
Di tempat lain, Ryan duduk di meja kerjanya, memandangi sebuah foto lama yang ditemukan di antara barang-barang ayahnya. Di foto itu, ada sosok ayahnya saat muda, berdiri di samping seorang wanita dengan senyum yang begitu lembut. Wanita itu adalah Dewi.
Ryan menggenggam cincin yang kini ada di tangannya, cincin yang ia temukan di laci pribadi ayahnya setelah kepulangannya dari rumah sakit jiwa. Cincin yang sama dengan yang dipakai Bu Dewi dalam ilusi dan ingatannya.
Ayahnya tidak pernah bercerita. Ibunya tidak pernah tahu.
Dan Ryan... kini memikul rahasia yang tidak akan pernah bisa ia ungkapkan.
Hujan di luar semakin deras. Di dalam kamarnya, Dewi memejamkan mata, membiarkan air mata jatuh untuk terakhir kalinya.
Mungkin, di kehidupan lain, ia dan Arga bisa menemukan jalan mereka kembali.
TAMAT.