Hujan turun deras malam ini. Sama seperti malam saat kamu memilih untuk pergi tanpa penjelasan, meninggalkanku dengan tanya yang tak pernah sempat kujawab sendiri. Aku benci hujan. Tapi aku lebih benci kenangan tentangmu yang selalu datang bersamanya.
Lucu, ya? Setelah semua yang kamu lakukan—kata-kata yang menyakitkan, kepergian yang tiba-tiba, janji-janji yang kamu ingkari—aku masih di sini. Duduk diam, menunggumu, bahkan jika aku tahu kamu tak akan pernah kembali.
“Dia bukan orang yang baik,” kata temanku.
“Kamu harus bisa move on,” tambah yang lain.
Dan aku mengangguk, tersenyum seolah aku bisa. Tapi di dalam, hatiku masih berbisik pelan, ‘Dia tetap orang yang aku cinta.’
Aku pernah mencoba membencimu. Berkali-kali. Aku ulang semua kesalahanmu, aku ingat lagi luka yang kamu tinggalkan, aku ulangi kata-kata dingin yang kamu ucapkan. Tapi tetap saja, tak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa aku mencintaimu lebih dari aku bisa menyakitimu. Bahkan dalam pikiranku sendiri.
Kamu bukan orang sempurna, aku tahu. Tapi kamu adalah satu-satunya yang membuatku merasa lengkap meski sejenak. Dan perasaan itu terlalu dalam untuk dilawan dengan amarah.
Aku ingin membencimu… sungguh, aku ingin. Tapi setiap kali aku mencoba, yang muncul justru rasa rindu. Rindu akan hari-hari di mana kamu masih memanggil namaku dengan lembut. Hari-hari di mana kamu masih menatapku seolah aku adalah satu-satunya dunia yang kamu punya.
Tapi sekarang kamu bahkan tidak menoleh ke belakang.
Dan aku tetap di tempat yang sama.
Mungkin ini yang disebut cinta yang menyakitkan—yang tetap tinggal meski segala alasannya pergi. Yang masih memaafkan, meski tak pernah dimintakan.
Dan malam ini, untuk kesekian kalinya, aku berbisik ke langit gelap yang menangis bersamaku:
Meski ingin, aku tak pernah bisa membencimu.
---