Pagi ini seperti biasa—kopi hangat, deru kendaraan di luar jendela, dan notifikasi dari grup kerja yang terus berdenting. Tapi ada satu hal yang tidak biasa: kenangan tentang kamu kembali datang tanpa permisi.
Sudah lama aku mencoba melupakanmu. Sudah banyak tawa yang kujadikan tameng, banyak nama yang mampir tapi tidak pernah tinggal. Namun sekuat apapun aku berlari, hatiku tetap menolak melangkah lebih jauh… karena ia terlanjur berhenti—di kamu.
Aku masih ingat hari pertama kita bertemu. Kamu dengan senyum canggung dan jaket kebesaranmu, duduk di bangku paling pojok perpustakaan. Saat itu aku hanya berniat meminjam buku, tapi malah meminjam hatimu tanpa tahu bagaimana cara mengembalikannya.
Kita tidak pernah merencanakan apa pun. Semua mengalir begitu saja—dari pertemanan sederhana, menjadi perasaan yang tak bisa disebutkan dengan kata. Tapi cinta yang tumbuh diam-diam juga bisa gugur dalam sunyi. Dan itulah yang terjadi pada kita.
“Aku harus pergi,” katamu suatu sore yang penuh mendung. “Ini bukan soal kamu, tapi aku. Aku belum selesai dengan diriku sendiri.”
Aku tidak menangis waktu itu. Aku hanya diam, mengangguk, dan mencoba memahami. Tapi setelah kamu benar-benar pergi, sunyi yang kamu tinggalkan terlalu keras untuk diabaikan.
Waktu berlalu. Dunia terus berputar. Tapi aku tetap di sini—di tempat yang sama, dengan hati yang sama, masih berharap tanpa suara. Bukan karena aku tidak bisa mencintai orang lain. Tapi karena tidak ada yang bisa kugandeng tanpa merasa seperti mengkhianati bayanganmu.
Lucu, ya? Bagaimana hati bisa setia pada seseorang yang bahkan tak tahu bahwa dirinya masih tinggal di sana.
Mungkin kamu tidak akan pernah tahu. Mungkin kamu sudah bahagia dengan hidupmu sekarang. Dan itu cukup bagiku. Aku tidak meminta kamu kembali. Aku hanya ingin kamu tahu satu hal…
Hatiku sudah terlalu nyaman di tempat yang sama. Ia terlanjur berhenti—di kamu.
---