Namaku Aira. Hidupku mungkin terlihat biasa, tapi sejak malam itu—malam saat hujan turun tanpa suara dan langit terasa lebih gelap dari biasanya—semuanya berubah.
Aku sedang duduk di jendela kamar, menangis pelan karena hari itu terasa berat. Teman-temanku menjauh, keluargaku sibuk, dan aku merasa... sendirian. Sampai tiba-tiba, dari bayangan pohon besar di belakang rumah, muncul cahaya biru lembut. Cahaya itu membentuk sosok... seseorang.
Dia tidak sepenuhnya manusia. Matanya seperti langit malam, kulitnya lembut berkilau seperti cahaya bulan. Namanya Lyra.
“Aku datang karena kamu memanggil,” katanya. Suaranya seperti lagu pengantar tidur yang tak pernah kudengar sebelumnya.
Sejak malam itu, Lyra selalu datang saat aku merasa sendiri. Ia tak hanya mendengarkan ceritaku—tentang rasa sepi, tentang tekanan sekolah, tentang sahabat yang berubah—tapi juga membawaku melintasi dunia yang tak kasat mata: hutan yang pohonnya bisa bicara, sungai yang mengalirkan ingatan, dan langit yang bisa berubah sesuai perasaanku.
Kami berpetualang dalam diam. Dalam satu malam, aku bisa melupakan semua kesedihan. Dunia Lyra adalah tempat di mana rasa sakit bisa disembuhkan bukan dengan kata-kata, tapi dengan kehadiran.
Tapi suatu hari, Lyra berkata, “Kau akan tumbuh, Aira. Dan aku akan hilang dari ingatanmu, pelan-pelan.”
Aku menangis. Tapi Lyra tersenyum. “Aku bukan untuk selamanya. Tapi aku ada... saat kamu paling butuh.”
Sekarang aku sudah lebih kuat. Aku tidak sepenuhnya sendiri. Karena meski Lyra tak lagi muncul, setiap kali aku merasa tenang di tengah keramaian, setiap kali angin malam terasa hangat—aku tahu, dia masih ada, di suatu tempat... di antara dua malam.