Sudah dua bulan aku pindah ke apartemen ini. Lingkungannya tenang, bersih, dan kelihatan aman. Tapi sejak seminggu terakhir, ada sesuatu yang membuatku tak nyaman.
Namanya Mas Kevin, Pemuda yang tinggal tepat di unit sebelah. Saat pertama kali pindah, dia terlihat ramah—selalu menyapa, kadang menghulurkan makanan. Tapi lama kelamaan, keramahan itu berubah menjadi keganjilan.
Awalnya, aku tak terlalu peduli. Tapi suatu malam, aku merasa seperti diperhatikan.
Setiap kali aku membuka tirai jendela, lampu unit Mas Kevin tiba-tiba menyala. Ketika aku keluar membuang sampah, dia muncul di lorong dengan alasan “kebetulan mau ke bawah juga.” Terlalu sering. Terlalu aneh.
Puncaknya, saat aku menerima surat tanpa nama di bawah pintu.
> “Kamu terlihat cantik dengan piyama biru itu semalam.”
Dadaku seketika sesak. Hanya satu orang yang mungkin bisa melihatku dari jendela kamarku—unit sebelah.
Aku beranikan diri bertanya ke pengurusan apartemen. Mereka menyarankan untuk memasang CCTV kecil di depan pintu dan jendela. Dan malam itu, aku menunggu. Sengaja aku biarkan tirai sedikit terbuka.
Pagi harinya, aku periksa rekaman. Tanganku gemetar.
Tepat pukul 2:13 pagi, ada bayangan berdiri di depan jendela—mengintip. Lalu dia menempelkan wajahnya ke kaca. Walaupun gelap, aku bisa mengenali siluetnya.
Mas Kevin!
Aku melapor ke pengurusan dan pihak berkuasa segera bertindak. Mereka menemukan foto-fotoku di dalam unitnya. Beberapa diambil dari jarak dekat. Beberapa... saat aku sedang tidur.
---
Kini dia telah dipindahkan. Tapi setiap malam, sebelum tidur, aku masih cek kunci dua kali dan pastikan tirai tertutup rapat. Karena luka dari rasa takut tak sembuh semudah itu.
Dan aku belajar satu hal penting—bahwa tidak semua jiran yang ramah itu benar-benar baik.