Namanya Rina.Sahabatku sejak kami duduk di bangku SMP.Kami tumbuh bersama, berbagi cerita, mimpi, bahkan luka. Aku percaya padanya seperti aku percaya pada diriku sendiri.
Tapi semua berubah.
Aku masih ingat hari itu—hari di mana aku mengetahui bahwa dia bukan sahabat yang kukira.
Aku sedang bersiap-siap untuk presentasi penting di kampus ketika seorang teman mengirim pesan.“Maaf, tapi kamu harus tahu… Rina yang menyebarkan cerita itu.”
Aku terpaku. Cerita yang seharusnya hanya Rina yang tahu. Tentang keluargaku, tentang kesulitan yang sedang aku hadapi. Rahasia yang kutitipkan padanya dengan air mata dan kepercayaan.
Awalnya aku tak percaya. Aku membelanya. Tapi bukti demi bukti datang seperti hujan deras yang tak bisa dihentikan. Potongan percakapan, tangkapan layar… semua mengarah padanya.
Ketika aku menghadapinya, dia hanya berkata,
“Aku nggak bermaksud jahat, cuma… aku butuh teman bicara juga.”
Itu saja. Sederhana. Dingin. Seolah persahabatan kami hanya secuil kisah kecil yang bisa dibagikan tanpa izin.
Aku tidak marah. Aku hanya… hancur. Bukan karena rahasia itu terbongkar, tapi karena ia menghancurkan satu hal yang paling kupercaya—*
persahabatan kami.*
Sekarang, aku masih melihatnya di kampus. Kami saling lempar senyum hambar seperti dua orang asing yang pernah dekat.
Dan tiap kali aku tertawa dengan teman-teman baru, ada satu bagian dalam diriku yang tetap dingin—bagian yang pernah luka karena dikhianati.
**Karena kadang, luka dari sahabat lebih dalam daripada luka dari musuh.**
---