Setiap Jumat sore, Rania selalu duduk di bangku taman kota dengan buku catatan berwarna biru di tangannya. Ia menulis surat untuk Arka—pria yang pernah berjanji akan menemuinya di tempat itu lima tahun lalu.
"Arka, hari ini aku melihat daun maple jatuh lagi. Kau ingat? Dulu kau bilang daun itu seperti hatiku—terkadang kuat bertahan, tapi akhirnya harus jatuh juga..."
Tapi Arka tak pernah datang.
Hujan mulai rintik ketika seorang pria mendekatinya. "Sudah lima tahun, masih menunggu?" tanya pria itu—Dito, teman sekantor Arka yang diam-diam selalu memperhatikannya.
Rania tersenyum pahit. "Aku hanya ingin memberitahunya bahwa aku baik-baik saja."
Dito mengeratkan genggamannya. "Rania... Arka meninggal dalam kecelakaan mobil sehari sebelum janjimu. Ia sebenarnya membawa cincin—"
Angin menerbangkan lembaran surat dari tangan Rania. Air matanya bercampur rintik hujan. *Ia baru sadar: selama ini ia menunggu seseorang yang tak mungkin kembali, sementara di depannya ada seseorang yang selalu menunggu dirinya.*
Dito mengulurkan tangan, tapi Rania berbalik pergi.
Keesokan pagi, Dito menemukan buku catatan biru itu di bangku taman—halaman terakhirnya terisi:
"Arka, maafkan aku. Aku harus berhenti menulis untukmu. Tapi kurasa... aku juga tak bisa membuka hati untuk orang lain."
Di bawahnya, ada coretan kecil yang hampir terhapus:
"Dito, terima kasih sudah mencintai reruntuhan hatiku."
(Akhir yang patah hati: cinta tak selalu tentang move on atau bersama orang baru—terkadang, cinta adalah tentang setia pada kenangan, meski itu menyakitkan.)