Aku mengenalnya di sebuah taman bunga, saat musim semi pertama dalam hidupku. Namanya Aira, seperti udara yang membawaku bernapas lega setelah sekian lama tersesat dalam kesendirian. Rambutnya pendek, ikal-ikal kecil yang selalu bergoyang saat dia tertawa. Matanya, dua permata kecokelatan yang memancarkan kehidupan—meski aku tak tahu bahwa hidupnya begitu singkat.
"Kita hanya punya waktu seribu hari," bisiknya suatu malam, ketika kami berbaring di atap rumahnya, menatap bintang-bintang.
Aku mengernyit. "Apa maksudmu?"
Dia tersenyum, manis tapi getir. "Aku sakit, Sayang. Dokter bilang aku mungkin tak akan bertahan lebih dari itu."
Jantungku berhenti. Aku ingin membantahnya, ingin marah pada takdir, tapi Aira menekan jarinya di bibirku. "Jangan buang waktu untuk sedih. Mari kita buat setiap hari berarti."
Dan itulah yang kami lakukan.
Kami mencuri setiap detik bahagia seperti pencuri yang lapar. Aku mengajaknya melihat matahari terbit di puncak bukit, meski tubuhnya lemah. Kami menari di tengah hujan, meski setelahnya Aira demam tinggi. Aku menulis surat untuknya setiap hari, dan dia menyimpannya dalam kotak kayu kecil. "Bacalah nanti, ketika aku sudah pergi," katanya.
Di hari ke-999, Aira sudah terlalu lemah untuk bangun dari tempat tidur. Tangannya menggenggam erat tanganku, dingin tapi penuh kehangatan. "Aku tidak takut," bisiknya. "Karena aku telah mencintai dan dicintai sepenuhnya."
Aku menangis, tapi dia mengusap air mataku. "Jangan lupakan aku, tapi jangan juga berhenti bahagia."
Di hari ke-1000, Aira pergi dengan tenang, senyum terakhirnya masih melekat di wajahnya.
Kini, setiap musim semi tiba, aku duduk di taman bunga tempat kami pertama bertemu, membuka satu surat dari kotak kayu itu—satu untuk setiap hari tanpanya.
"Aku mencintaimu," tulisnya di surat terakhir. "Dan cinta kita takkan pernah berakhir, hanya berubah bentuk."
Aku tersenyum, menatap langit biru. "Aku juga mencintaimu, Aira. Sampai nanti."