Lintang. Namanya selalu membuat jantungku berdetak tak karuan. Sejak pertama kali bertemu di perpustakaan kampus, aku tahu dia berbeda. Rambutnya yang hitam panjang, mata yang selalu berbinar saat membicarakan buku favoritnya, dan senyumannya yang hangat seperti mentari pagi.
Kami menghabiskan banyak waktu bersama. Duduk di taman kampus sambil berbagi cerita, menonton film bioskop dengan tawa yang tak henti, atau sekadar berjalan-jalan di tepi danau saat senja. Setiap detik bersamanya terasa seperti mimpi.
Tapi, seperti cerita cinta klasik, takdir seringkali tak berpihak.
Suatu hari, Lintang mulai sering mengeluh pusing. Awalnya kami mengira itu hanya kelelahan biasa. Namun, ketika dia pingsan di tengah kelas dan harus dilarikan ke rumah sakit, dunia seakan runtuh.
"Aku mengidap tumor otak stadium akhir," bisiknya suatu malam, tangannya menggenggam erat tanganku. "Dokter bilang... waktuku tidak lama lagi."
Aku menatapnya, tak percaya. Air mataku jatuh deras, tapi Lintang justru tersenyum. "Jangan menangis. Aku ingin melihatmu bahagia, sampai detik terakhir."
Hari-hari berikutnya adalah perjuangan. Aku menemani Lintang menjalani kemoterapi, membacakan buku untuknya, memeluknya ketika rasa sakitnya tak tertahankan. Namun, senyumannya tak pernah pudar.
Hingga suatu pagi, ketika mentari baru saja terbit, Lintang memanggilku. Suaranya lemah. "Aku mencintaimu," katanya. "Terima kasih sudah membuat hidupku begitu indah."
Tangannya yang dingin perlahan melepas genggamanku. Detak jantungnya berhenti, tapi senyum terakhirnya tetap terukir di wajahnya.
Kini, setiap kali aku melihat langit malam, aku mencari bintang paling terang—Lintang-ku—yang mungkin sedang tersenyum dari sana.
"Selamat tinggal, cintaku."