Ada sebuah kereta yang melaju cepat, membawa dua orang asing yang sejenak saling bertemu di ruang sempit yang penuh suara. Di dalam kereta itu, ada seorang gadis yang tak pernah menunjukkan wajahnya, dan seorang laki-laki yang hadir seperti bayangan, tidak terlalu nyata, namun cukup untuk meninggalkan jejak. Mereka tidak berkenalan lebih jauh, tidak pernah bertatap muka, hanya saling berbagi kata lewat layar dan suara. Namun, di setiap percakapan yang terlontar, ada rasa yang tumbuh perlahan, meskipun tak pernah terlihat. Itu seperti bunga yang mekar diam-diam dalam gelap.
"Kenapa kamu gak pernah kirim foto?" tanyanya suatu malam, suara laki-laki itu terdengar penasaran.
Gadis itu diam sejenak, tak tahu apa yang harus dijawab. “Aku hanya merasa nyaman seperti ini,” jawabnya perlahan. “Tanpa harus melihat wajah, tanpa harus bertemu, hanya berbicara tentang apapun.”
"Menarik," laki-laki itu membalas dengan tawa kecil, "Aku suka kalau seseorang bisa nyaman tanpa tahu siapa aku."
Gadis itu merasa aneh, namun ada ketenangan dalam kata-kata itu. Mungkin, dia merasa, mereka sedang berada dalam dunia yang hanya mereka berdua yang tahu.Hari-hari berlalu. Gadis itu merasa semakin terhubung, meskipun tak pernah bertemu. Namun, ada rasa yang mulai menyesakkan. Terkadang, saat dia mengirim pesan, balasan datang terlambat. Suara di telepon terasa lebih dingin.
"Kenapa kamu lama balesnya?" gadis itu bertanya, sedikit kecewa.
“Maaf, aku sibuk,” jawabnya singkat.
"Setiap kali aku mengirim pesan, selalu ada jarak. Rasanya... aku cuma menunggu tanpa tahu pasti kenapa," ujar gadis itu, mencoba jujur tentang perasaannya.
Laki-laki itu terdiam sejenak. "Aku cuma nggak tahu harus gimana," akhirnya dia berkata.
Gadis itu merasa seperti ada tembok yang tiba-tiba dibangun di antara mereka. "Kadang aku merasa, kita cuma saling mengisi kekosongan. Tanpa benar-benar saling tahu," katanya perlahan.
"Maaf, itu bukan maksudku," balas laki-laki itu. "Aku gak bisa menjelaskan."
Gadis itu menunduk, merasa sakit hati mendengar itu. "Kadang, itu lebih menyakitkan daripada ketidakjelasan yang kamu berikan," katanya, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh.Malam itu, suara laki-laki di telepon terasa begitu jauh. Gadis itu merasa seperti ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang pernah dia rasakan—kehangatan, perhatian, dan bahkan harapan.
"Aku cuma ingin... merasakan bahwa aku ada. Tanpa harus membuat diriku menunggu dan ragu," kata gadis itu, suaranya penuh ketidakberdayaan.
"Kadang aku merasa nggak bisa memberikan lebih, dan itu bikin aku bingung," jawabnya.
"Tapi, dengan begitu, kamu malah bikin aku merasa nggak penting. Aku cuma ingin ada yang mengerti," ujar gadis itu, hatinya berat.
Laki-laki itu tidak menjawab. Dia tahu, kata-kata itu sudah cukup. Tidak ada lagi yang bisa diungkapkan. Ada jarak yang begitu lebar di antara mereka—sesuatu yang tidak bisa diisi dengan hanya kata-kata.
Kembali ke Kisah Gadis itu:
Kini, gadis itu berdiri di balik dinding waktu, menatap dunia tanpa benar-benar menjadi bagian dari mereka. Meskipun laki-laki itu pernah hadir dalam kehidupannya, kini dia tahu bahwa perasaan tak selalu bisa bertahan meski kita menginginkannya. Tempat berlindung bukanlah pada seseorang yang membuat kita merasa kecil dan terluka, tetapi pada diri sendiri.
“Jika aku mencari tempat berlindung,” pikirnya, “bukan pada seseorang yang tak pernah benar-benar mengerti aku.”
Dan dia mulai belajar, bahwa kadang keindahan bisa ditemukan dalam melepaskan, bukan dalam memaksakan. Hati yang terluka juga bisa sembuh, asalkan kita tahu cara kita tahu cara menyembuhkannya.