Angin sore berhembus pelan, membawa serta bau asin laut yang mengingatkannya pada air mata yang tak sempat tumpah. Lelaki itu duduk di atas batu karang yang kasar, tapi tak sekeras hatinya yang remuk. Matanya kosong, menatap garis horizon di kejauhan—tempat langit dan laut menyatu, seperti bagaimana dulu pikir dirinya dan dia akan bersatu.
Tapi sekarang, dia ada di pelukan temannya sendiri.
Genggaman tangannya mengeras, kerikil kecil di telapak tangan tertancap tanpa ia rasakan. Sakit di kulit tak ada artinya dibandingkan sakit di dada, di mana jantungnya seperti dipelintir perlahan oleh kenangan-kenangan yang tiba-tiba menjadi racun.
"Aku harusnya tahu… harusnya bisa membaca tanda-tanda…"
Tapi tidak. Dia terlalu percaya pada senyumnya, pada tawa yang dulu ia kira hanya untuknya. Padahal, mungkin sejak awal, dia hanyalah batu loncatan menuju orang lain.
Ombak bergulung-gulung mendekat, lalu pecah di karang dengan suara gemuruh kecil—seperti ejekan. Laut tak pernah diam, selalu bergerak, selalu melanjutkan hidup. Sedangkan dia? Terjebak dalam detik-detik ketika kabar itu sampai di telinganya.
"Mereka jadian."
Dua kata itu cukup membuat dunianya retak.
Seekor burung camar terbang rendah, menukik ke air dan muncul kembali dengan ikan kecil di paruhnya. Hidup harus terus berjalan, bisik alam padanya. Bahkan untukmu.
Tapi untuk apa? Ketika yang ia mau hanyalah tenggelam dalam pasir, lenyap seperti jejak kaki yang tersapu ombak.
Lalu, dari kejauhan, terdengar tawa riang. Sekelompok anak kecil berlarian di tepi pantai, tanpa beban, tanpa luka. Ia tersenyum getir.
"Mungkin suatu hari nanti, aku akan baik-baik saja…"
Tapi bukan hari ini.
Hari ini, laut saja yang jadi saksi.
Udara semakin pekat, seperti beban yang menindih pundaknya. Ombak yang tadi hanya berbisik, kini seakan mengejek—"Kau pikir dia pernah sungguh-sungguh memandangmu?" Setiap hempasan air ke karang terasa seperti tamparan. Ia menutup mata, mencoba menghalau suara itu, tapi pikiran sendiri lebih kejam daripada laut mana pun.
"Seharusnya kau sadar."
Ya, seharusnya. Tapi ia terlalu sibuk membangun istana dari pasir, mengira setiap senyuman dia adalah semen yang akan menguatkannya. Bodoh. Sekarang istana itu hanyut, tersapu arus realita yang dingin.
"Kau menghabiskan waktu menunggu seolah-olah kau punya hak atas hatinya."
Nafasnya tersendat. Pikirannya menusuk seperti duri yang tumbuh di dalam dada. Ia tahu. Tahu bahwa harapannya hanyalah lilin di tengah badai—terus menyala dengan sia-sia sampai akhirnya padam oleh tiupan nasib. Tapi ia tetap bertahan, berpegang pada bayangan yang bahkan tak pernah benar-benar miliknya.
"Lihatlah dirimu. Terjebak dalam lingkaran ‘hampir’ dan ‘seandainya’."
Tangannya mengepal, kuku menghunjam ke telapak hingga nyaris berdarah. Seandainya aku lebih berani. Seandainya aku tak terlalu lambat. Kata-kata itu berputar-putar, seperti ikan kecil yang terjebak dalam ember—berenang tanpa pernah bisa keluar.
Di kejauhan, langit mulai memerah. Matahari turun perlahan, seolah enggan meninggalkannya sendirian dengan kegelapan yang akan datang. Tapi bahkan alam pun tak bisa berlama-lama.
"Mereka bahagia. Dan kau? Kau hanya jadi penonton dalam cerita yang kau kira akan jadi milikmu."
Dadanya sesak. Laut yang tadi diam, kini seakan tertawa—riaknya berdebur dengan nada yang menusuk. "Kau terjebak dalam mimpi, sementara dunia terus berjalan."
Ia menarik nafas dalam, mencoba menelan kepahitan yang mengganjal di tenggorokan. Mungkin inilah yang mereka sebut belajar. Belajar bahwa cinta tak selalu tentang kesetiaan, tapi juga tentang kepergian. Bahwa terkadang, yang paling menyakitkan bukanlah ditolak—melainkan disadari bahwa kau bahkan tak pernah jadi pilihan dan itu tidak apa-apa, kau akan baik-baik saja.
Angin berhembus lebih kencang, membawa serta butiran pasir yang menyayat kulit. Ia tak menghindar. Biarlah sakit ini membersihkan luka, seperti gelombang yang membersihkan jejak kaki di pantai.
"Apa sekarang kau mengerti?"
Ya. Mengerti bahwa harapan bisa jadi racun yang perlahan membunuh. Bahwa menunggu seseorang yang tak pernah melihatmu adalah seperti berteriak di tengah badai—suaramu hilang sebelum sempat didengar.
Dengan gemetar, ia berdiri. Pasir jatuh dari celana, seiring tekad yang mulai tumbuh: cukup.
Laut mungkin tak akan pernah mengembalikan apa yang telah diambilnya. Tapi setidaknya, ia bisa belajar untuk tak lagi menyia-nyiakan waktu—mengejar bayangan yang bahkan tak pernah mau menunggu.
Matahari akhirnya tenggelam. Dan dalam kegelapan yang mulai menyelimuti, ia memutuskan:
"Aku akan pergi—tanpa membawa namanya lagi."
Meski laut tak berbicara, laut lah yang mengerti.