Namaku Alya, seorang mahasiswa semester dua di Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. Sejak kecil, aku sudah memimpikan bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Kini, berada di kampus ini adalah wujud nyata dari doa dan perjuanganku selama ini. Rasanya seperti memasuki babak baru dalam hidup. Dunia kampus berbeda dari sekolah menengah. Di sini, aku bukan hanya belajar tentang ilmu pertanian, tapi juga belajar tentang hidup, kemandirian, dan kedewasaan.
Hari-hariku di kampus dimulai sejak pagi hari. Aku tinggal di sebuah kos sederhana yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kampus. Setiap pagi, aku berjalan kaki atau naik motor menuju fakultas. Pemandangan pagi selalu memberi semangat tersendiri—langit biru, pepohonan rindang, dan suara burung yang menenangkan. Setibanya di kampus, aku bertemu dengan teman-teman sekelas. Suasana kekeluargaan terasa kental di antara kami. Meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, kami saling mendukung dan bekerja sama.
Mata kuliah yang aku pelajari cukup beragam, mulai dari dasar-dasar ilmu pertanian, kimia dasar, biologi umum, hingga praktikum di laboratorium maupun lapangan. Salah satu pengalaman yang paling berkesan adalah saat kami mengadakan praktikum pengamatan pengambilan sampel tanah di Desa Mpanau. Kami menggali tanah, menganalisis teksturnya, dan mencatat semua hasil pengamatan dengan teliti. Dari kegiatan itu, aku menyadari bahwa pertanian bukan hanya tentang menanam dan panen, tetapi juga tentang memahami tanah sebagai media kehidupan. Selain itu, aku mulai mengerti pentingnya menjaga keseimbangan alam dan bagaimana teknologi bisa membantu petani meningkatkan hasil tanpa merusak lingkungan.
Tidak hanya belajar di kelas dan lapangan, aku juga aktif di organisasi kemahasiswaan di jurusan. Awalnya, aku ragu untuk bergabung karena merasa belum cukup percaya diri. Namun setelah bergabung, aku justru merasa semakin berkembang. Aku belajar mengatur waktu, berbicara di depan umum, dan menyampaikan pendapat. Kami sering mengadakan kegiatan seperti seminar, bakti sosial, dan pelatihan keterampilan. Suatu ketika, kami mengadakan program penyuluhan pertanian ke desa mitra. Di sana, aku belajar berinteraksi langsung dengan masyarakat, menyampaikan informasi yang kami pelajari di kampus, dan mendengar pengalaman mereka sebagai petani. Itu momen yang mengubah cara pandangku—ternyata ilmu yang kupelajari bisa berdampak nyata bagi orang lain.
Tentu saja, perjalanan di dunia kampus tidak selalu mulus. Ada masa-masa sulit saat menghadapi ujian, tugas yang menumpuk, atau ketika semangat mulai menurun. Namun semua tantangan itu menjadi bagian dari proses. Aku belajar untuk tidak mudah menyerah. Teman-teman sekelasku menjadi tempatku berbagi cerita, tertawa, bahkan menangis bersama. Kami saling menyemangati saat salah satu merasa lelah atau hampir putus asa. Aku juga mulai belajar mengatur keuangan, mengatur jadwal harian, bahkan memasak sendiri saat uang kiriman mulai menipis. Semua itu membuatku menjadi lebih mandiri dan tangguh.
Dunia kampus memberiku ruang untuk tumbuh. Di sini aku mengenal siapa diriku, apa yang aku cita-citakan, dan bagaimana cara mencapainya. Aku ingin suatu hari nanti menjadi ahli pertanian yang bisa membawa perubahan. Aku ingin membantu petani di daerahku agar tidak lagi bergantung pada cara-cara lama, tapi bisa memanfaatkan ilmu dan teknologi. Aku percaya bahwa pertanian adalah masa depan bangsa. Melalui pendidikan ini, aku ingin menjadi bagian dari solusi.
Kini, setiap kali aku melangkah di koridor kampus, aku selalu ingat tujuan awal kenapa aku ada di sini. Perjalanan ini mungkin masih panjang, tapi aku bersyukur telah memulainya. Dunia kampus telah mengajarkanku lebih dari sekadar teori. Ia telah memberiku mimpi, harapan, dan keyakinan bahwa aku bisa membuat perubahan. Dan selama aku masih diberi kesempatan untuk belajar, aku akan terus berusaha menjadi versi terbaik dari diriku, demi masa depan yang lebih baik.