Namaku Alya, mahasiswa semester dua di Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. Pagi itu, aku bangun lebih awal dari biasanya karena kami dijadwalkan melakukan praktikum di lapangan terbuka. Setelah menyiapkan alat dan perlengkapan seperti pH meter, cangkul kecil, dan botol sampel, aku langsung berangkat dari kos menuju kampus. Jalanan mulai ramai dengan mahasiswa yang juga bersiap menghadapi aktivitas hari itu. Aku bertemu dengan teman-temanku di depan laboratorium tanah. Setelah absen dan mendapat pengarahan singkat dari dosen, kami segera berangkat menuju lokasi praktikum.
Kampus Universitas Tadulako memang selalu memberi rasa nyaman bagi mahasiswa seperti aku. Hamparan rumput hijau terbentang luas di antara gedung-gedung fakultas, memberi kesan alami dan sejuk. Di Fakultas Pertanian, suasananya sangat mendukung pembelajaran. Ada lahan percobaan, rumah kaca yang dipenuhi berbagai jenis tanaman, dan laboratorium dengan alat lengkap. Suara burung yang bersahutan di pagi hari menjadi pengiring yang menenangkan saat kami berjalan menyusuri jalan setapak menuju lahan praktikum. Di tempat itu, aku merasa benar-benar menjadi bagian dari alam dan ilmu yang kami pelajari terasa lebih hidup.
Sebagai mahasiswa pertanian, aku menyadari bahwa pembelajaran tidak hanya bisa mengandalkan teori. Di lapangan, kami bisa melihat langsung perbedaan tekstur tanah, mempelajari cara mengambil sampel dengan benar, dan menguji daya serap air pada berbagai jenis tanah. Misalnya, tanah lempung memiliki daya serap air yang rendah dan cenderung menahan air, sedangkan tanah berpasir lebih cepat mengalirkan air. Praktikum seperti ini sangat penting karena memberi gambaran nyata tentang kondisi yang akan kami hadapi di dunia kerja nanti.
Menurutku, pembelajaran berbasis lapangan seperti ini adalah kunci agar mahasiswa pertanian siap menghadapi dunia kerja. Hanya dengan teori, pemahaman kita bisa dangkal dan sulit diterapkan. Banyak mahasiswa yang awalnya merasa tidak tertarik dengan materi tanah, berubah menjadi antusias setelah melihat langsung proses pengamatan di lapangan. Selain itu, praktikum membentuk kerja sama tim, ketelitian, dan keterampilan berpikir kritis—hal-hal yang tidak selalu bisa diasah di ruang kelas. Oleh karena itu, aku selalu antusias mengikuti kegiatan seperti ini.
Melalui pengalaman-pengalaman itu, aku ingin mengajak teman-teman mahasiswa, khususnya di Fakultas Pertanian, untuk tidak ragu terlibat aktif dalam setiap kegiatan kampus. Ikut praktikum, terlibat dalam organisasi, bahkan menjadi relawan di kegiatan luar kampus bisa memberi kita wawasan yang luas. Jangan takut kotor atau lelah, karena di balik itu semua ada pengalaman berharga yang tak bisa dibeli dengan nilai akademik semata. Mari kita wujudkan generasi pertanian yang tidak hanya andal secara teori, tapi juga teruji di lapangan, serta mencintai harmoni antara kampus dan alam.