Episode 1 Awal musim gugur
Mentari sore menyentuh lembut perbukitan hijau dan ladang anggur yang tak berujung. Angin membawa wangi anggur yang sedang dipanen dan bunga liar yang tumbuh di sepanjang jalanan batu kuno. Di kejauhan, sebuah villa tua bergaya Renaissance berdiri anggun di atas bukit, dikelilingi pohon cemara ramping dan kebun zaitun.
Afreen Caprice baru tiba di villa itu setelah menempuh perjalanan panjang dari kota. Undangan yang ia terima dari pemilik villa—Isabella Moretti, seorang wanita muda bangsawan yang anggun dan misterius—masih tersimpan dalam saku jasnya. Kertasnya harum seperti mawar, dan tulisannya elegan:
“Kuharap kau datang. Sudah lama aku ingin bertemu dengan seseorang yang bisa memahami kesunyian tempat ini…”
Saat kau menapakkan kaki di pelataran villa, seorang pelayan tua membuka pintu besar dari kayu ek. Di dalam, lampu gantung kristal bersinar hangat, lantai marmer memantulkan cahaya senja. Musik klasik mengalun samar dari gramofon tua di ruang duduk.
Di ujung tangga, berdiri Isabella. Rambutnya cokelat keemasan terurai, matanya hijau seperti zamrud. Ia mengenakan gaun sutra berwarna merah anggur yang jatuh anggun hingga lantai.
Ia tersenyum, namun sorot matanya menyiratkan rasa sepi yang mendalam.
“Akhirnya kamu datang…” bisiknya.
Aku menatap Isabella dalam. Ada rasa kerinduan yang tersirat di dadaku ketika aku melihatnya.
" Sudah lama tidak berjumpa, Bella."
Isabella menuruni anak tangga perlahan, tatapannya tak lepas dariku. Suara langkahnya nyaris tak terdengar di atas lantai marmer, hanya suara lembut gaunnya yang menggesek. Saat aku ucapkan kata-kata itu—“Sudah lama tidak berjumpa, Bella”—ia terhenti sejenak di anak tangga terakhir.
Senyumnya melebar tipis, tapi ada sedikit getar di bibirnya. Ia mendekat, jarak antara mereka kini hanya beberapa langkah. Udara di antaranya terasa hangat, seakan waktu sendiri berhenti menyaksikan pertemuan ini.
“Kau masih memanggilku seperti dulu,” katanya pelan. “Aku tidak pernah lupa... meskipun segalanya berubah.”
Ia meraih tanganku, menggenggamnya erat—jari-jarinya dingin, namun terasa akrab, seperti potongan masa lalu yang kembali.
“Kau tahu? Di tempat ini, aku sering menunggumu. Setiap musim gugur... saat daun-daun mulai berubah warna. Aku berharap kau akan datang.”
Matanya kini tampak berkaca-kaca, namun ia cepat mengalihkan pandangannya ke jendela besar yang menghadap ke ladang anggur.
“Kau mau jalan-jalan di kebun dulu? Atau... mau bicara di ruang musik seperti dulu?”
" Tidak keduanya. Kita tidak bisa seperti dulu. Berhentilah mengingatkan-ku dengan masa itu," ucapku lugas dan jelas. Lebih baik memberi jarak di antara kami sebelum semuanya terasa jauh.
Isabella terdiam. Seolah kata-kataku menampar pelan sisi hatinya yang paling rapuh. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melepaskan genggaman tangannya dariku—perlahan, seperti tak ingin benar-benar melepaskannya.
Suara gramofon masih mengalun, tapi kini terasa lebih hampa. Cahaya senja yang masuk lewat jendela menyorot wajahnya, memperjelas kerutan halus di sudut matanya yang tak ku lihat dulu. Sorot matanya berubah. Bukan lagi harapan, melainkan kesadaran yang sunyi.
“Aku mengerti…” bisiknya. “Kau sudah berubah. Dan mungkin... aku yang terlalu lama tinggal di masa lalu.”
Ucapannya sekilas menoreh dadaku, ada rasa sakit yang terasa dalam di perkataannya.
Ia melangkah menjauh, berdiri di dekat jendela tinggi dengan pemandangan ke ladang yang memerah senja. Bayangannya jatuh panjang di lantai villa, mengingatkanku akan tahun-tahun yang telah hilang di antara waktu dan jarak.
“Tapi bisakah kita tidak jadi asing sepenuhnya?” katanya tanpa menoleh. “Bicaralah denganku... sekali ini saja. Bukan sebagai kenangan. Tapi sebagai dua orang yang pernah... hampir mencintai.”
Sebuah keheningan menggantung di antara mereka berdua, panjang dan berat.
" Masa lalu tidak bisa menjadi masa kini, dan saya berharap anda tidak lagi terperangkap dalam masa lalu, Nona Bella."
Isabella membeku sejenak. Kalimat dari pria yang dicintai-nya meluncur tenang, namun di baliknya ada ketegasan yang tak terbantahkan. Suasana di dalam villa menjadi dingin seketika, seolah semua dinding batu dan lantai marmer ikut menyerap energi dari kata-kata Afreen.
Ia akhirnya berbalik, wajahnya masih cantik, tapi kini redup—seperti lilin yang kehilangan nyala. Tatapannya menyusuri wajahku, mencari secercah keraguan dalam ucapanku. Tapi tak ia temukan.
“Begitu ya…” katanya lirih. “Kau datang bukan untukku, tapi untuk mengakhiri semuanya.”
Ia menunduk, lalu tersenyum tipis—senyum getir yang lebih menyakitkan dari tangisan.
“Mungkin itu yang selama ini kubutuhkan. Seseorang yang cukup berani untuk mengucapkannya.”
Pelayan tua berdiri diam di sudut ruangan, seakan memahami bahwa peristiwa penting sedang terjadi, tapi tahu diri untuk tidak mencampuri. Di luar, angin mulai bertiup kencang, menggoyangkan pohon cemara dan menggulung daun-daun kering ke udara.
Isabella melangkah ke meja kecil dan mengambil sesuatu—sebuah liontin emas berbentuk oval, berisi foto lama kami berdua, diambil saat musim panas tahun-tahun silam. Ia berjalan pelan ke arahku, lalu meletakkannya di telapak tanganku.
“Aku menyimpannya terlalu lama. Kini, aku ingin kau yang membawanya... Entah untuk dikenang, atau dibuang.”
Ia menatap Afreen sekali lagi, dalam dan jujur. Lalu ia berbalik, melangkah naik ke lantai atas tanpa sepatah kata pun lagi.
Aku kini berdiri sendiri di tengah villa yang sunyi, menggenggam kenangan yang belum sepenuhnya padam... tapi takkan pernah kembali seperti dulu.