Malam itu sunyi. Lampu kamar temaram, hanya ditemani bayangan bayang yang menari pelan di dinding.
Yaya duduk di pojokan ranjangnya, memeluk lutut. Ponsel ada di genggamannya, tapi yang ditunggu tak kunjung muncul. Sudah tiga hari Arya tak menghubunginya. Tidak ada kabar, tidak ada pesan, seolah ia bukan siapa-siapa lagi.
Tangannya gemetar saat akhirnya ia mengetik:
“Kamu lagi ngapain?”
Kalimat yang begitu ringan, tapi menyimpan banyak rasa yang tak terucapkan. Bukan karena ia benar-benar ingin tahu apa yang Arya lakukan. Tapi karena ia tak tahan lagi dengan diam yang terus menyiksa.
Kalau pun ada ucapan yang keluar diantara mereka, itu hanya sekadar formalitas saja, menutupi rasa kesal yang menggunung.
Yaya lelah. Lelah menunggu tanpa kepastian. Lelah berpura-pura tidak peduli padahal hatinya terus bertanya: "Kenapa Arya berubah? Kenapa dia begitu jauh? Aku tanya pun pasti langsung hilang, lalu mengabaikan."
Beberapa menit berlalu. Ceklis dua. Tapi tidak dibaca.
Yaya menatap layar itu lama sekali. Hatanya campur aduk. Marah. Sedih. Bingung.
Ia ingin bertanya langsung, “Apa kamu masih mau sama aku? Atau hubungan ini bertahan karena takut sendiri?” Tapi Nadira tahu, pertanyaan seperti itu bisa jadi mengakhiri segalanya.
Namun waktu terus bergulir, dan hatinya tak kunjung tenang. Akhirnya, ia mengetik satu pesan panjang. Kali ini dengan hati yang jujur.
“Aku nggak tahu kita ini masih saling cinta atau cuma bertahan karena pernah cinta. Aku juga ngerasa kamu udah berubah. Jarak antara kita kerasa banget. Kita tuh cuma kayak pura-pura saling baik. Kalau memang udah nggak ada rasa, nggak apa-apa. Tapi kamu jangan diam kayak gini. Aku cuma butuh kejelasan."
Ia tekan kirim.
Lalu mematikan ponselnya.
Malam itu, untuk pertama kalinya, Yaya menangis bukan karena rindu—tapi karena sadar, mungkin cinta mereka hanya akan tinggal kenangan.
****
Komunikasi yang dulu hangat kini berubah dingin, dan perhatian yang dulu tulus kini terasa seperti kewajiban. Yaya mulai menyadari bahwa selama ini hanya dia yang berusaha mempertahankan sesuatu yang mungkin sudah kosong.
Lewat pesan terakhirnya, ia memberanikan diri mengungkapkan perasaannya dan meminta kejelasan.
Cerita ini menunjukkan bahwa cinta yang pernah ada bisa tiba-tiba memudar, dan terkadang yang paling dibutuhkan bukan bertahan, tapi kejujuran dari masing-masing pihak—meski rasanya menyakitkan.