Hari ini, aku datang ke sekolah dengan hati riang. Kenapa? Karena hari ini nggak ada ulangan! Setidaknya, itulah yang kupikirkan sampai Bu Rina, guru matematika, masuk kelas dengan senyum yang mencurigakan.
"Anak-anak, kita ada ulangan dadakan!" katanya dengan semangat.
Seketika suasana kelas berubah. Ada yang mengeluh, ada yang langsung panik mencari buku, dan ada juga yang pasrah menatap langit-langit. Aku? Aku hampir pingsan di tempat.
Aku menoleh ke sahabatku, Budi, yang duduk di sebelah."Bro, gimana nih? Aku nggak belajar sama sekali!"bisikku panik.
Budi, yang terkenal dengan kepintarannya dalam situasi darurat, hanya nyengir. "Tenang, ada Plan B."
Aku mengerutkan dahi. "Plan B? Apaan?"
Budi mengangkat kotak pensilnya dan membukanya pelan-pelan. Aku mencondongkan badan, berharap menemukan sesuatu yang bisa menyelamatkanku. Tapi yang kulihat hanyalah... sebuah kalkulator mainan!
Aku menatapnya dengan ekspresi tidak percaya."Serius, Bud?"
Dia mengangguk dengan percaya diri. "Ini buat pura-pura sibuk. Kalau Bu Rina lihat kita serius, mungkin dia kasihan dan soalnya jadi lebih mudah."
Aku menghela napas pasrah. Tidak ada pilihan lain. Jadi, selama ulangan, aku menekan tombol kalkulator kosong itu sambil berpura-pura berpikir keras.
Ajaibnya, Bu Rina sempat lewat di sebelah kami, melihat kami yang "sangat serius", lalu tersenyum kecil.
Tapi ternyata bukan karena dia kasihan. Setelah ulangan selesai, dia berkata, "Budi, kenapa pakai kalkulator mainan? Dan Doni, kenapa kamu malah ngetik di penghapus?"
Seisi kelas langsung tertawa. Aku melihat tanganku—ternyata sejak tadi aku memencet penghapus, bukan kalkulator!
Budi? Dia cuma nyengir sambil berbisik, "Plan B gagal, bro."