Di sudut kelas yang penuh dengan riuh, ada seorang gadis bernama Rina yang duduk sendirian di dekat jendela. Matanya terfokus pada buku catatan di depannya, tetapi pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana. Di luar, hujan turun dengan pelan, menciptakan irama yang menenangkan. Namun, di dalam hatinya, ada kegelisahan yang sulit dijelaskan.
Rina sudah lama menyukai Dimas, teman sekelasnya yang selalu terlihat ceria dan mudah bergaul dengan siapa saja. Dimas tidak pernah tahu bahwa di balik senyumannya yang sering mengisi hari-hari mereka, ada seorang Rina yang diam-diam merasakan sesuatu yang lebih. Rina menyukai Dimas, tapi ia lebih memilih menyimpannya dalam diam. Mengungkapkan perasaan itu terasa seperti risiko besar, yang bisa saja merusak kedekatan yang sudah terjalin.
Pernah sekali, mereka duduk berdampingan dalam sebuah proyek kelompok. Rina merasa hatinya berdebar-debar setiap kali Dimas menatapnya, atau ketika suara tawa mereka berbaur dalam obrolan ringan. Namun, setelah itu, ia kembali menyembunyikan perasaannya, membiarkannya menjadi sebuah rahasia kecil yang hanya ia kenali.
Suatu hari, saat hujan turun lebih deras dari biasanya, kelas Rina dibubarkan lebih awal. Semua siswa berhamburan keluar, ingin pulang sebelum jalanan tergenang air. Rina berjalan perlahan, sambil menatap hujan yang menetes di jendela kelas. Di luar, Dimas sedang berdiri bersama teman-temannya, tampak tidak sabar menunggu angkutan umum.
Tiba-tiba, Dimas menoleh dan melihat Rina yang berdiri sendiri di dekat jendela. Tanpa berkata-kata, ia mendekat. “Mau pulang?” tanya Dimas, suaranya agak teredam oleh suara hujan.
Rina mengangguk, canggung. “Iya, kebetulan jalanku lewat sini.”
“Kalau gitu, kita barengan aja,” kata Dimas sambil tersenyum lebar. Rina merasakan hatinya berdebar lagi, tetapi kali ini ia mencoba menenangkan dirinya. Mereka berjalan berdampingan, meskipun jarak antara mereka tetap terasa ada.
Di tengah perjalanan, Dimas tiba-tiba berhenti dan menatap langit, seolah menikmati hujan yang tak henti-henti mengguyur. Rina juga berhenti, merasa sedikit canggung. Namun, tiba-tiba Dimas menoleh ke arahnya.
“Rina,” katanya pelan, seolah ragu. “Kenapa kamu selalu diam saja sih? Ada yang mau kamu ceritain?”
Rina terkejut mendengarnya. Ia berusaha menenangkan diri, menarik napas panjang. “Maksudnya…?”
“Gini, kamu itu pendiam banget. Sering banget aku lihat kamu lebih suka diam, bahkan pas ada di sekitar temen-temen. Kadang aku bingung, kamu lagi mikirin apa sih?” tanya Dimas dengan senyum yang sedikit nakal.
Rina terdiam. Hatinya berdebar, kata-kata yang ingin ia ucapkan terasa membeku di bibirnya. Ia merasa ingin mengatakan semuanya, tetapi mulutnya terasa kaku. Akhirnya, ia hanya bisa menjawab dengan nada pelan. “Gak ada apa-apa kok, Dimas. Cuma... aku lagi mikirin tugas aja.”
Dimas mengangguk, meskipun Rina bisa melihat raut wajahnya yang tidak sepenuhnya yakin dengan jawaban itu. Namun, Dimas tidak memaksa. Mereka melanjutkan perjalanan dalam hening, hujan yang semakin deras justru membuat suasana menjadi lebih intim. Di hati Rina, ada perasaan campur aduk antara bahagia dan sedih, antara ingin mengungkapkan perasaannya dan takut kehilangan semuanya.
Setelah beberapa menit, mereka tiba di persimpangan jalan. “Aku belok sini dulu, ya,” kata Dimas.
“Eh, iya... Hati-hati di jalan,” jawab Rina, sedikit terburu-buru.
Dimas tersenyum, memberi isyarat dengan kepala. “Sampai ketemu lagi, Rina.”
Rina mengangguk sambil melangkah mundur perlahan. Saat Dimas berbalik dan mulai berjalan, Rina hanya bisa berdiri di tempat, menatapnya pergi. Hatinya terasa penuh, penuh dengan perasaan yang tak terungkapkan.
Menyukai dalam diam, mungkin memang terasa seperti cara yang paling aman. Namun, di balik itu, ada keinginan yang selalu ada, keinginan untuk bisa lebih dekat, untuk bisa lebih mengerti, meski tak pernah berani mengungkapkannya.
Rina melangkah perlahan menuju rumah, dengan hujan yang semakin reda, dan perasaan yang tak kunjung hilang.