Senja itu, langit berwarna keemasan, menyapu seluruh langit kota kecil dengan sinarnya yang lembut.
Di teras sebuah rumah kayu sederhana, Sari duduk di kursi goyang, menikmati angin sepoi-sepoi yang membawa aroma laut.
Pandangannya kosong, seolah terpaut pada sesuatu yang jauh di luar jangkauan matanya. Dia tidak tahu apa yang dirasakannya, hanya saja ada sesuatu yang kosong di dalam hatinya.
Hidupnya memang tampak sempurna. Sebagai seorang guru di sekolah desa, Sari dikenal sebagai wanita yang ceria dan bijaksana.
Setiap hari, dia berinteraksi dengan anak-anak, mengajar mereka tentang dunia yang lebih besar daripada yang mereka kenal. Namun, ada satu bagian dari hidupnya yang tidak pernah bisa dia bagi dengan orang lain.
Sebuah perasaan yang mengganjal, sebuah cinta yang telah lama tertahankan.
Sari memandang ke arah rumah kecil di ujung jalan. Di sanalah Raka tinggal. Lelaki yang telah mengisi hampir setiap sudut pikirannya selama bertahun-tahun.
Raka bukanlah siapa-siapa baginya, hanya seorang teman lama yang entah kenapa, selalu ada di dalam hidupnya. Mereka bertemu ketika masih duduk di bangku SMA.
Raka adalah teman sekelas yang selalu membuatnya tertawa dengan lelucon-leluconnya. Meski Raka adalah sosok yang sangat populer, dengan senyum menawan dan pribadi yang mempesona, Sari selalu merasa nyaman berada di dekatnya.
Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan yang tumbuh dalam diri Sari berubah menjadi sesuatu yang lebih. Sesuatu yang tidak pernah bisa dia ungkapkan.
Cinta yang tak terucapkan, yang hanya bisa dia simpan dalam hati. Dan kini, setelah bertahun-tahun, perasaan itu masih ada. Bahkan, semakin kuat.
Pada suatu sore, ketika Sari sedang menyiram tanaman di halaman, dia melihat Raka berjalan menuju rumahnya. Matanya langsung tertuju pada sosok itu.
Raka tersenyum padanya, senyum yang selalu membuat hatinya berdebar. Tanpa disadari, Sari membalas senyumnya, meskipun perasaan cemas mulai merayap.
"Selamat sore, Sari," sapanya dengan suara lembut, seperti biasa.
"Sore, Raka. Ada apa?" Sari bertanya dengan hati yang mulai berdegup kencang.
"Aku hanya ingin berbicara sebentar," jawab Raka, berjalan mendekat. "Boleh?"
Tentu saja, Sari mengangguk, meskipun hatinya mulai gelisah. Raka duduk di kursi yang berada di sebelah Sari, lalu mereka terdiam sejenak.
Angin sore membawa kesunyian yang aneh, seolah menyadari bahwa sesuatu yang penting akan terjadi.
"Sudah lama ya, kita tidak ngobrol seperti ini?" Raka akhirnya membuka pembicaraan.
"Aku merasa seperti sudah lama tidak bertemu dengan teman lamaku."
Sari tersenyum kecil. "Iya, memang sudah lama. Hidup kita masing-masing membawa kita ke jalan yang berbeda, bukan?"
Raka mengangguk, matanya sedikit terlihat cemas. "Sari, aku... aku ingin mengatakan sesuatu."
Sari menoleh, mencoba untuk menyembunyikan perasaan cemas yang mulai melanda hatinya. "Apa itu?"
Raka menunduk sejenak, menarik napas panjang. "Sari, aku tahu kita sudah lama berteman, tapi aku tidak bisa mengabaikan perasaan yang aku rasakan. Aku... aku sudah lama menyukaimu."
Kata-kata itu seperti petir yang menyambar di tengah keheningan. Sari terdiam, tidak tahu bagaimana harus merespons.
Hatinya berdebar sangat kencang, dan rasanya seluruh dunia berhenti berputar sejenak.
Apakah dia mendengar dengan benar? Raka, lelaki yang selama ini menjadi sahabat terbaiknya, ternyata juga memiliki perasaan yang sama?
"Apa... apa maksudmu?" Sari berusaha menahan suara yang hampir serak.
Raka mengangkat wajahnya dan menatap mata Sari dengan serius. "Aku menyukaimu, Sari. Sejak dulu, sejak kita pertama kali bertemu. Aku hanya tidak pernah tahu bagaimana mengungkapkannya. Aku tahu kamu pasti tidak merasa sama, tapi aku merasa lebih baik jika aku mengatakannya sekarang, daripada terus menyimpannya."
Sari merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Perasaan yang selama ini dia sembunyikan, perasaan yang dia rasa tak akan pernah terbalas, tiba-tiba menjadi kenyataan. Dia merasa seperti terbang, namun jiwanya terhimpit oleh ketakutan yang tak dapat dijelaskan. Dia ingin menangis, ingin tertawa, ingin berlari, tapi tubuhnya terdiam di tempat.
"Raka..." suara Sari terdengar lirih, suaranya hampir hilang ditelan angin.
"Aku... aku juga merasakan hal yang sama. Aku juga sudah lama menyukaimu, tapi aku takut. Takut kalau kamu tidak merasakan hal yang sama. Takut kalau aku hanya akan merusak persahabatan kita."
Raka tersenyum, senyum yang penuh dengan kelegaan. "Aku paham, Sari. Tapi aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Aku ingin kita berdua memiliki kesempatan untuk lebih dari sekadar teman. Aku ingin kamu tahu, apapun yang terjadi, aku ingin bersama denganmu."
Sari tidak bisa lagi menahan air matanya. Dia menangis, bukan karena kesedihan, tetapi karena kebahagiaan yang terlalu besar untuk ditampung dalam hati.
Semua keraguan, semua ketakutan, semua perasaan yang terkunci selama bertahun-tahun kini pecah begitu saja.
Raka meraih tangannya dengan lembut, menariknya mendekat. "Kita bisa mulai dari sini, Sari. Tak perlu terburu-buru. Aku ingin berjalan bersama-sama, langkah demi langkah."
Sari mengangguk, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa seperti dia akhirnya menemukan tempat yang tepat untuk pulang. "Aku juga ingin itu, Raka."
Malam itu, di bawah langit yang penuh bintang, mereka duduk berdua, tangan mereka saling menggenggam erat. Tak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan, karena dalam diam, mereka sudah memahami satu sama lain.
Cinta mereka, yang telah lama terkubur dalam hati, akhirnya terungkap, dan itu cukup. Cukup untuk membuat mereka yakin bahwa langkah bersama ini adalah awal dari sebuah perjalanan yang panjang dan indah.