Hari itu terasa seperti hari-hari biasa bagi Anggi. Pagi dimulai dengan aroma kopi yang menyeruak di udara, dan suara adzan Subuh yang menyambutnya dari masjid kecil di ujung jalan. Dia menggulung sarung dan mengenakan jilbab, lalu berjalan menuju dapur. Pekerjaan rumah tak pernah selesai, tapi Anggi selalu menikmatinya. Pagi adalah waktu terbaik untuk bersendau gurau dengan suaminya, Om Zaki.
Om Zaki, suaminya, adalah lelaki yang berbeda dari suami-suami pada umumnya. Dia bukanlah seorang pria muda yang penuh semangat berkelana, bukan pula seorang pria yang tergolong tampan atau memiliki pekerjaan yang gemilang. Usianya sudah mencapai empat puluh tahun saat mereka menikah. Sedangkan Anggi masih berusia dua puluh tiga tahun, jauh lebih muda darinya. Namun, usia bukanlah penghalang bagi mereka. Bagi Anggi, Om Zaki adalah sosok yang penuh ketenangan, humor, dan kebijaksanaan yang sangat dibutuhkan dalam hidupnya.
Anggi pertama kali bertemu dengan Om Zaki di sebuah acara keluarga. Waktu itu, dia masih menjadi mahasiswi yang sibuk dengan kuliah dan pekerjaan sampingan. Anggi merasa bahwa hidupnya sangat terbagi-bagi, seakan tidak ada tempat untuk merasa tenang. Namun, saat itu dia merasakan sesuatu yang berbeda ketika melihat Om Zaki. Dia merasa nyaman dalam diam, tenang dalam kebersamaan yang sederhana. Tak ada pembicaraan rumit, hanya senyum dan tatapan penuh pengertian. Dan meskipun Anggi merasa ada jarak usia yang cukup jauh, ada sesuatu dalam dirinya yang menarik untuk mengenalnya lebih jauh.
“Om, maaf, kalau boleh tahu, kenapa Om selalu terlihat tenang dan penuh ketenangan?” tanya Anggi suatu hari setelah mereka duduk berdua di ruang tamu yang sepi.
Om Zaki tersenyum, mengangkat alisnya, lalu menatap Anggi dengan mata penuh kebijaksanaan. “Karena hidup itu tentang pilihan, Nak. Kita bisa memilih untuk merasa cemas sepanjang waktu, atau kita bisa memilih untuk merasa damai dengan keadaan.”
Anggi terdiam, merenung. Kata-kata itu seperti menyentuh hatinya, memberi ketenangan yang dia cari-cari selama ini. Sejak saat itu, hubungan mereka berkembang begitu alami. Tanpa paksaan, tanpa keraguan. Anggi merasa bahwa meskipun usia mereka terpaut jauh, hati mereka menyatu dalam keheningan yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata.
Beberapa bulan kemudian, mereka memutuskan untuk menikah. Keputusan itu tidak mudah bagi keluarga Anggi, terutama ibunya yang merasa khawatir dengan jarak usia yang begitu jauh. Namun, Anggi yakin, bahwa kebahagiaan bukanlah tentang usia atau materi, melainkan tentang kecocokan dan saling mendukung dalam hidup.
“Kenapa Om Zaki, Nak? Kenapa bukan yang lebih muda?” tanya ibunya dengan nada khawatir.
“Karena dia membuatku merasa lengkap, Bu. Dia bukan hanya suami, dia sahabat, guru, dan om yang selalu ada untukku,” jawab Anggi dengan tulus.
Hari pernikahan mereka sederhana, hanya dihadiri oleh keluarga terdekat dan beberapa teman. Anggi mengenakan gaun pernikahan yang sederhana, namun cantik, dan Om Zaki mengenakan setelan jas yang terlihat elegan meski usianya sudah tak muda lagi. Saat upacara akad nikah selesai, Anggi merasa seolah dunia berhenti sejenak. Semua yang ada di sekitar mereka seakan memudar, hanya ada mereka berdua dalam kehangatan cinta yang sederhana namun penuh makna.
Setelah menikah, hidup mereka berjalan seperti air yang mengalir. Tidak ada drama, tidak ada konflik besar yang menghancurkan kedamaian mereka. Tentu saja, hidup tidak selalu mulus. Ada saat-saat ketika Anggi merasa cemas dengan masa depan mereka, tetapi Om Zaki selalu bisa menenangkan hatinya.
“Om, apa yang akan terjadi jika kita tua nanti?” tanya Anggi suatu malam, sambil duduk di teras rumah mereka yang sederhana. Malam itu begitu sepi, hanya suara jangkrik yang terdengar.
Om Zaki menatap Anggi dengan mata yang hangat, seolah menahan waktu agar tak berlalu begitu cepat. “Anggi, kita akan tua bersama. Tapi yang terpenting bukanlah seberapa tua tubuh kita nanti, tapi seberapa dalam kita mencintai satu sama lain. Jika kita saling mendukung, saling memahami, maka usia bukanlah hal yang perlu kita takuti.”
Anggi tersenyum, hatinya merasa damai mendengar kata-kata suaminya. Dia tahu, meskipun Om Zaki lebih tua darinya, mereka saling melengkapi. Ada kekuatan dalam kebijaksanaan, ada kedamaian dalam usia yang lebih matang. Dia tidak pernah menyesal memilih Om Zaki sebagai suaminya.
Beberapa tahun berlalu, dan hubungan mereka semakin kuat. Anggi merasa bahwa Om Zaki adalah sosok yang selalu ada untuknya dalam keadaan apapun. Mereka berbagi tawa, berbagi tangis, dan bersama-sama menjalani setiap fase kehidupan. Om Zaki mengajarkan Anggi untuk tidak terburu-buru dalam hidup, untuk menikmati setiap momen dan belajar dari setiap pengalaman.
Suatu malam, setelah makan malam bersama, Anggi duduk di pangkuan Om Zaki. Mereka tertawa bersama, mengenang kenangan masa lalu dan merencanakan masa depan mereka.
"Om, kamu tahu nggak? Dulu aku sempat ragu dengan perbedaan usia kita," kata Anggi dengan suara lembut.
Om Zaki mengangguk, "Aku tahu, Nak. Tapi cinta tidak mengenal usia, kan? Yang penting adalah bagaimana kita saling menerima dan menghargai."
Anggi tersenyum, merasakan betapa dalamnya cinta yang mereka miliki. Meskipun banyak orang yang mungkin meragukan hubungan mereka, Anggi tahu bahwa Om Zaki adalah suami yang tepat. Suami yang tidak hanya menjadi pasangan hidupnya, tetapi juga sahabat sejati yang akan selalu ada untuknya, sampai akhir waktu.
"Om,om itu suamiku, ya?" Anggi berbisik, menatap Om Zaki dengan penuh cinta.
"Ya, Nak. aku akan selalu menjadi suamimu," jawab Om Zaki dengan senyuman yang penuh arti.
Dan bersama-sama, mereka melanjutkan perjalanan hidup mereka, membangun keluarga yang penuh cinta, kebahagiaan, dan ketenangan, menghadapinya dengan penuh keyakinan bahwa cinta sejati tak pernah memandang usia.
Hari-hari berlalu dengan kehangatan yang tak terukur, dan Anggi semakin merasa bahwa dirinya adalah wanita paling beruntung di dunia. Meski banyak orang yang sering heran melihat perbedaan usia mereka, bagi Anggi, usia hanyalah angka. Yang penting adalah cara mereka saling menghargai dan saling mendukung. Om Zaki bukan hanya suaminya, tetapi juga teman hidup yang selalu ada untuknya. Tidak ada rasa canggung atau ketidakcocokan, hanya kebersamaan yang semakin menguat seiring waktu.
Namun, kehidupan memang penuh dengan kejutan. Saat Anggi hamil anak pertama mereka, dunia mereka seolah berubah. Meskipun Om Zaki sudah cukup berusia dan fisiknya mulai menua, semangatnya untuk menjadi seorang ayah tetap tak tergoyahkan. Dia tidak pernah merasa takut untuk merawat dan mendidik anak mereka dengan penuh kasih sayang. Begitu juga dengan Anggi, meskipun dia muda, pengalaman hidup yang didapatnya dari suaminya membuatnya menjadi ibu yang sabar dan penuh perhatian.
Pada malam pertama mereka mengetahui jenis kelamin bayi mereka, Anggi duduk di samping Om Zaki di ruang keluarga yang sederhana. Lampu temaram memberikan suasana yang hangat. Di tangan Anggi, sebuah foto hasil USG bayi mereka. “Om, apakah kita siap menjadi orangtua?”
Om Zaki tersenyum, meraih tangan Anggi dan menggenggamnya erat. "Kita tidak akan pernah siap, Nak. Tapi kita akan melakukannya bersama, seperti kita selalu melakukan segalanya. Kita akan belajar bersama."
Anggi menatap wajah suaminya, dan dalam tatapan itu, dia melihat ketenangan yang sama seperti pertama kali mereka bertemu. Suaminya mungkin lebih tua, tapi dalam hatinya, dia merasa muda setiap kali dia memandang Anggi dan anak yang mereka nanti-nantikan.
Lima bulan kemudian, mereka menyambut kelahiran seorang bayi laki-laki yang sehat dan lucu. Kehadiran bayi itu membawa kebahagiaan yang tak terhingga, membuat rumah mereka semakin berwarna. Om Zaki, yang mungkin tidak lagi muda secara fisik, tetap kuat dan penuh semangat dalam merawat anak mereka. Anggi pun merasa bahwa kebahagiaan ini adalah puncak dari semua perjalanan yang telah mereka jalani bersama.
Saat anak mereka sudah tumbuh sedikit lebih besar, Anggi duduk bersama Om Zaki di beranda rumah mereka, memandang langit yang mulai gelap. Anggi meletakkan kepala di pundak suaminya, merasakan kedamaian yang hanya bisa dia rasakan bersama orang yang benar-benar mengerti dirinya.
"Om, aku selalu merasa bahwa kita adalah pasangan yang sempurna, meski dunia kadang tak mengerti hubungan kita," kata Anggi dengan suara lembut.
Om Zaki tertawa pelan. "Dunia tidak perlu mengerti, Nak. Yang penting adalah kita mengerti satu sama lain. Dan aku selalu tahu, kita adalah pasangan yang tepat, meski umur kita berbeda. Kita saling melengkapi, saling memberikan kebahagiaan."
Anggi tersenyum, merasakan bahwa kebahagiaan itu benar adanya. Tidak ada yang bisa menggantikan perasaan damai yang dia dapatkan setiap hari bersama Om Zaki. Hidup mereka bukanlah cerita cinta yang penuh dengan drama atau konflik besar, tetapi lebih seperti sebuah kisah yang tenang dan penuh makna.
Saat malam semakin larut, Anggi dan Om Zaki berdua berdiri dan menuju kamar mereka. Anggi merasa tidak ada yang lebih indah daripada melihat suaminya, yang sudah menua bersama waktu, tetap menjadi sosok yang kuat, bijaksana, dan penuh cinta.
"Om, aku sangat bersyukur bisa memanggilmu suamiku," kata Anggi, dengan mata yang penuh haru.
Om Zaki memeluknya erat, "Aku pun merasa sama, Nak. Terima kasih telah memilihku, om-om yang sudah tua ini."
Dan begitu mereka berdua berbaring di tempat tidur, Anggi merasa bahwa di dunia ini, ada kebahagiaan yang sederhana, yang datang dari saling mencintai tanpa syarat. Meskipun hidup penuh dengan tantangan, Anggi tahu bahwa bersama Om Zaki, dia akan selalu menemukan ketenangan, kebahagiaan, dan cinta yang abadi.
Pada akhirnya, mereka tidak hanya menjadi pasangan suami istri yang penuh kasih sayang, tetapi juga sahabat sejati yang saling memahami dan menjaga. Perbedaan usia mereka tidak pernah menjadi penghalang, karena cinta yang mereka miliki lebih kuat daripada segala sesuatu yang tampak di luar. Dan Anggi tahu dengan pasti, bahwa Om Zaki, om-om itu, adalah suami yang tepat untuknya, sekarang dan selamanya.
Tamat.