Malam yang dingin dan sepi. Kesunyian yang tiada akhir. Seorang pemuda menatap langit penuh bintang dari balik tirai jendela rumah sakit. Suara angin yang berhembus lembut, mesin mesin yang menyala.
Kemalangan adalah hal yang tidak bisa dihindari semua orang. Pemuda dengan paras tampan, hidung mancung, dan mata tajam. Lehernya dibalut perban, tangannya dipasang infus dan elektrokardiogram.
Pemuda itu melihat ke meja, ia meraih ponselnya. Malam yang awalnya hanya dipenuhi suara mesin mulai diiringi dengan musik klasik yang indah. Lantunan musik yang tenang menambah kesan lemah dengan angin yang berhembus pelan.
Butiran bening menetes membasahi pipi tirus sang pemuda. Ia membuka galeri foto dan terus melihat satu foto. Terdapat lima pemuda digambar itu, dan salah satunya adalah pemuda itu sendiri.
Perlahan memori memori indah terngiang di kepalanya. Air mata yang tidak bisa ditampung lagi mengingat kenyataan bahwa kenangan itu seutuhnya berakhir.
Mimpi yang ia kejar kini seutuhnya hanya sebuah mimpi. Band yang ia dirikan kini hancur dengan dia satu satunya anggota yang tersisa. Kemalangan yang merebut nyawa sahabat, teman, sekaligus anggota bandnya.
Semua yang ia rencanakan hancur. Anggota nya hilang bersama dengan suaranya yang hilang. Suara yang indah adalah salah satu keunggulan pemuda dengan paras tampan itu.
Bukan hanya harus menerima kenyataan bahwa sahabat sahabatnya meninggal dalam kecelakaan, pita suaranya juga rusak.
Pemuda itu mengganti musik klasik menjadi iringan biola. Ia memulai rekaman suara. Suara nya yang indah kini menjadi rusak. Ia memaksakan diri untuk menyanyikan lagu terakhir yang ia dan sahabat sahabatnya buat.
Lagu yang seharusnya ditampilkan di panggung justru ditampilkan di rumah sakit. Tanpa penonton, hanya ada dia seorang diri. Setelah selesai menyanyi ia memutar ulang lagu terakhir yang ia nyanyikan. Suara yang indah terdengar, ia bangga karena dapat menyanyikan lagu terakhirnya.