Jisung dan Jeno adalah saudara. Sifat dan sikap mereka terbalik, dan sering tertukar. Mereka juga seperti magnet, selalu menempel satu sama lain
"Jisungie"
"Iya, Kak? Ada apa?"
"Kamu mau kemana?"
"Mau ke minimarket, mau ikut?"
"Iya, ikut!"
Suatu hari, keduanya bertemu seorang pemuda yang hampir saja menabrak seekor anak kucing. Namanya Jaemin. Pemuda yang super dingin dan datar.
Jisung menyukainya saat pertama kali melihat Jaemin. Lain dengan Jeno, dia yang polos hanya tersenyum saat melihat Jaemin.
Saat masuk SMA, Jisung tak menyangka bahwa dia akan satu kelas dengan pemuda bernama Jaemin itu.
"Wah, gak nyangka ya. Kita sekelas sama Jaemin"
"Jaemin? Siapa?"
"Orang yang hampir nabrak anak kucing tempo lalu"
"Oh, dia"
Jisung sering memperhatikan Jaemin, tapi malah Jeno yang lebih sering di perhatikan oleh Jaemin.
Jisung hanya perlu berusaha lebih keras lagi untuk membuka hati Jaemin.
Hari demi hari yang didapat Jisung dari Jaemin hanya senyuman saja. Sedangkan Jeno, dia sering diberi perhatian lebih.
Jisung berusaha berfikir positif, mungkin dengan lebih berusaha dia bisa mendapat perhatian dari Jaemin
Hingga satu tahun, perlakuan Jaemin pada Jeno selalu membuat Jisung ingin menyerah saja.
Berjuang sendiri memang sakit, tapi dia ingin hasil yang lebih besar dari kegagalan.
Jisung bertekad untuk terus berusaha hingga titik penghabisannya.
Demi mendapat perhatian dari Jaemin, Jisung bertekad untuk jadi ketua OSIS yang selanjutnya.
"Jisung, kamu mau jadi ketua OSIS selanjutnya?"
"Iya, kenapa?"
"Itu terlalu berat buat kamu, tapi terserah kamu aja, aku gak bisa larang"
Dia hanya ingin perhatian dari Jaemin, tidak lebih. Dia hanya ingin itu. Tapi sepertinya Jaemin tak pernah meliriknya sekali pun.
Hari demi hari, Jeno jadi lebih sering dikerjai oleh siswa sekolahnya. Dia memang lebih tua dari Jisung, tapi dia masihlah anak polos yang tidak tahu mana yang baik, dan tidak baik.
"Anak kecil ngapain sekolah di tempat anak dewasa?"
"Mending pulang aja, tidur, terus renungin diri kenapa kamu masuk sekolah anak dewasa"
"Hahahaha"
Kadang Jisung kesal saat mendengar Jeno dirundung tapi tak melawan.
Tapi.....
Kadang sifatnya terlalu dewasa
"Jisung, Kakak udah bilang 'kan? Jangan main ke tempat balap lagi? Tapi kenapa kamu gak ngikutin apa yang Kakak bilang? Kamu ngeyel banget sih dibilangin? Batu banget"
"Maaf, Kak"
Menjaga Jeno agar baik-baik saja itu sudah tugasnya. Dia sudah berjanji akan membuat Jeno bahagia, walaupun dia harus berkorban.
Saat ini, Jeno sedang bermain basket. Dia jadi terlihat dewasa saat bermain basket. Walaupun badannya kecil, tapi tubuhnya tinggi, walaupun tak setinggi Jisung.
Jaemin menontonnya. Jika apa yang dilakukan Jeno dia akan melihatnya. Tapi Jisung sama sekali tak pernah disemangati saat sedang berolahraga atau apapun itu.
Setelah dua tahun lebih, Jisung sadar bahwa Jaemin itu menyukai Jeno, saudaranya. Dia merenung sendiri dikamar. Menangis pada tengah malam hanya untuk melepaskan dan merelakan Jaemin dengan saudaranya.
Saat di sekolah pun, Jisung menghindari Jaemin. Walaupun Jaemin seringkali menghampiri Jeno yang memang duduk dengan Jisung.
Jaemin yang melihat perubahan Jisung bingung. Dia sering bertanya pada Jeno tentang apa yang terjadi pada Jisung, namun Jeno hanya menggelengkan kepala.
"Jeno"
"Hemmm"
"Ada apa sama Jisung? Kenapa dia berubah banget?"
"Jeno gak tau, Jaem"
Makin hari sifat dan sikap Jisung menjadi semakin berbeda dengan yang dulu. Seakan tidak pernah bertemu dengan Jaemin. Tapi dia tetap menemani Jeno yang selalu dihampiri Jaemin.
Di tahun ketiga, setelah ujian kelulusan, Jisung tidak datang saat kelulusan. Jeno hanya datang dengan orang asing yang disewa Jisung untuk menjaga Jeno, karena Jisung tidak bisa hadir karena sakit.
"Jeno?"
"Heumm"
"Dimana Jisung?"
"Jisung lagi sakit, Kak Jaem. Kenapa?"
"Oh? Sakit apa? Parah banget?"
"Dia demam tinggi"
"Terus, yang anter kamu siapa?"
"Oh? Yang ganteng itu? Dia orang yang disuruh Jisung buat nganter Jeno"
Jaemin penasaran Jisung sakitnya parah atau tidak. Tapi tidak bisa datang melihat langsung.
Jisung hanya bisa duduk sambil terisak di meja makan. Dia masih belum bisa merelakan Jaemin. Dia lelah jika harus berusaha lebih keras lagi. Dia tidak sekuat itu jika harus melihat orang yang dia cintai, malah memilih saudaranya sendiri.
"Aku kira, Jaemin itu......hiks"
"Bun....... Hiks.... Jie gak sanggup lagi..... Hiks....bawa Jie sama Bunda aja....hiks... Jie gak bisa lagi...... biarin Jeno sama Ayah aja..... hiks"
Sungguh berat baginya jika harus terus menerus berada di samping Jeno yang Jaemin cintai dan sayangi.