"Gila ya, Mi, lihat ini!" heboh seorang gadis pada teman di sebelahnya.
Ia langsung menyodorkan ponselnya ke depan wajah temannya yang fokus makan.
"Ada apa?" Gadis itu hanya merespon malas. 'Paling cowok lagi,' ejeknya dalam hati.
"Nih, dia ganteng kan?"
'Tuh kan, bener,' batinnya malas. "Biasa aja," ujarnya setelah melihat foto di layar ponsel Kiana.
"Ish, gak bisa lihat cowok ganteng," ejek Kiana sambil memanyunkan bibirnya. Mia hanya mengangkat bahu tak peduli.
"E, eh, itu dia," tunjuk Kiana heboh pada seorang lelaki yang baru masuk kantin.
Lelaki itu langsung dikerubungi perempuan yang ada di kantin, bahkan hampir semuanya.
"Ya ampun, ganteng banget. Yuk, minta foto," ajaknya langsung pergi meninggalkan Mia dan semangkuk bakso yang tadi di pesan Kiana.
"Eh, Ki--"
Mia tak habis pikir dengan sikap temannya itu. Dia sama saja dengan mereka yang centil. Nama lelaki itu, Farhan. Dia lelaki baik, pintar, dan tentu saja menjadi populer di kalangan para siswi. Dia anggota klub basket inti, dan selalu mengharumkan nama sekolah. Mungkin itu alasannya.
---
Mia menunggu hujan reda di pos satpam. Kiana sudah pulang tadi dijemput supirnya. Berbeda dengan dia yang menunggu hujan reda karena pulang dengan berjalan kaki.
"Menunggu hujan reda?" tanya seseorang di sebelahnya.
"Ah, iya," jawab Mia sedikit terkejut, karena lelaki itu entah kapan datangnya.
Ooh, laki-laki yang tadi di kantin, batin Mia.
"Nih, pakai payungku." Lelaki itu langsung menyodorkan payung di tangannya pada Mia.
"Lalu, bagaimana denganmu?" Mia khawatir, bagaimana jika lelaki itu sakit karena kehujanan.
"Sebentar lagi dia datang," ujarnya sambil tersenyum.
"Dia?"
Tak lama, sebuah mobil berhenti di hadapan mereka. Jendela mobil terbuka perlahan.
"Han, buru masuk. Hujannya makin deres!" seru seorang lelaki di dalam mobil.
"Oke." Lelaki itu mengangguk. Tak lupa ia menyerahkan payungnya pada Mia dengan paksa. "Aku duluan, ya," pamitnya pada Mia lalu masuk ke mobil.
"Ooh oke, hati-hati," nasihatnya sebelum mobil itu melaju menjauh dari tempatnya.
Besoknya, Mia bermaksud untuk mengembalikan payung lelaki itu. Untung saja Kiana tahu tentang lelaki itu. Mungkin.
"Ki, cowok yang kemarin kamu tunjukin ke aku fotonya ... dia kelas berapa?" tanya Mia tiba-tiba setelah ia duduk di kursinya.
"Kenapa memang?" heran Kiana.
"Ada yang mau aku kasih," jelasnya.
"Tuh kan, pasti kamu juga bakal suka sama dia," serunya semangat.
"Bukan gitu, kemarin tuh dia--"
"Dia kelas dua ipa satu," ujarnya tak mendengarkan penjelasan Mia.
"Oke, makasih." Mia bermaksud akan memberikan payung lelaki itu sekarang juga. Jika nanti, takut ia lupa.
"Ngomong-ngomong kamu mau ngasih apa?" tanya Kiana penasaran, karena sepertinya Mia buru-buru.
"Ini--"
"Payung? Kamu mau ngasih dia payung? Nggak salah?"
"Ya kan ini--"
"Nggak modal banget sih ngasih gebetan kok payung!"
Mia menatap Kiana malas, belum juga ia mendengar penjelasan Mia, sudah menarik kesimpulan begitu. "Serah kamu deh!"
Mia langsung beranjak keluar kelas meninggalkan Kiana. Ia mencari-cari kelas 2IPA 2 di lantai tiga.
"Cari siapa?" tanya seseorang yang kebetulan akan masuk.
"Itu ...." Mia lupa menanyakan namanya pada Kiana. Gawat! "Ooh, nyari kakak itu! Yang lagi baca novel di kursi depan," jelasnya yang kebetulan melihat lelaki itu di dalam kelas.
"Ooh, Farhan?" tanya lelaki itu memastikan.
"Hehe, iya," cengir Mia.
"Han, dipanggil!" serunya. Laki-laki itu melihat ke arah Mia sekilas. "Aneh, suka kok nggak tahu namanya," ejeknya sembari masuk ke kelas.
Mia yang mendengar itu hanya diam tak mau menanggapi.
"Kak, ini payungnya," ucapnya sambil menyerahkan payung itu pada Farhan saat lelaki itu sudah di hadapannya.
"Ooh iya, makasih," ujarnya lalu Farhan kembali ke dalam kelas.
"Sama-sama, kak." Mia langsung berbalik menuju kelasnya.
"Kamu ngapain di sini?" tanya seorang lelaki yang menghampirinya.
"Ngasih payung ke kak Farhan," jawabnya.
"Hadiah?"
"Bukan, tapi kemarin kak Farhan ngasih pinjem payung nya ke aku."
"Ooh." Lelaki itu langsung pergi meninggalkan Mia setelah mendengar penjelasan Mia.
Dia kenapa?
---
Mia berlari tergesa-gesa, ia tak mau sampai kehabisan roti bakar yang ia incar sejak tadi. Apalagi ia belum sarapan. Namun sayang, saat sampai di stand roti bakar, ia tak melihat satupun tersisa.
"Bu, roti bakar habis ya?" lirih Mia.
"Habis, Neng," jawab ibu penjual roti itu.
"Oke, makasih ya, bu." Mia berbalik bermaksud mencari makanan lain.
"Kamu belum sarapan?" tanya seseorang yang ternyata Farhan padanya.
"Eh, belum, kak." Mia bermaksud ke stand mie ayam, tapi ....
"Nih, buat kamu aja," seru Farhan sambil menyodorkan roti bakar di tangannya.
"Tapi, kak--" Mia merasa tak enak pada Farhan, dia kan tak sedekat itu dengannya. Apalagi, kini tatapan orang di sekitar mulai memperhatikan mereka.
"Ambil aja. Lagian aku mau makan bareng sama dia," jelasnya.
"Ooh iya, makasih kak." Mia menerima Rori bakar itu. "Uangnya?"
"Nggak usah." Farhan langsung beranjak pergi entah ke mana. Mia hanya menatap roti bakar pemberian Farhan.
"Makasih, kak." Saking terkejutnya, ia lupa mengatakan itu. Meski tak terdengar, setidaknya ia berterima kasih kan, itu pikirnya.
"Woah, kamu dikasih roti bakar sama kak Farhan," iri seseorang di sebelahnya.
"Ya ampun, makin suka aku sama kak Farhan," timpal siswi lainnya.
"Beruntungnya kamu."
"Aku juga ingin dikasih roti bakar sama kak Farhan."
Mia tak mempedulikan mereka, ia lebih memilih pergi dari sana sebelum banyak yang mengerubunginya.
Dari situ entah siapa yang menyebarkan fitnah lebih dulu, Mia dan Farhan digosipkan sedang ada hubungan khusus. Meski kedua belah pihak sama sekali tidak tahu. Berita itu cepat menyebar, dari kalangan siswa, guru, ataupun penjaga sekolah. Farhan itu meski baik ia tak pernah perhatian pada perempuan. Maka dari itu, banyak yang mengira kalau mereka ada hubungan khusus.
Saat Mia kembali dari toilet ....
"Jadi kamu yang dikasih roti bakar sama tuh cowok cupu," seru lelaki itu tepat dihadapan Mia.
"Kamu ngomong ke aku?" tanyanya memastikan.
"Terus ke siapa lagi?" Lelaki itu tampak sekali menahan amarah. "Udah sampai mana hubungan kamu sama dia?"
"Hubungan apa maksudnya?"
Tentu saja Mia tak mengerti. Lelaki itu tak dikenali olehnya, terlebih kata-katanya tak jelas ke mana arahnya.
"Nggak usah pura-pura!" sentaknya.
"Aku emang gak ngerti maksud kamu apa!" sentak Mia membalas.
Mereka tak sadar, kalau sudah menjadi bahan tontonan orang-orang yang berlalu-lalang
"Kamu--"
"Rian," seru seseorang dari arah samping mereka. "Lagi ngapain? Kamu apain dia?"
"Hh!" Rian yang pergi meninggalkan mereka. Mia hanya menatap bingung lelaki itu.
"Kamu nggak apa?"
"Iya, kak."
"Jangan dibawa hati ya, dia emang gitu orangnya."
Setelah Farhan pun pergi, Mia langsung dikerubungi orang-orang yang tadi melihat adegan itu.
"Ya ampun, kamu dibela sama kak Farhan," seru orang yang kini di sebelahnya.
"Eh, mungkin nggak sih dia disukai sama kak Farhan?" bisik gadis itu pada temannya.
"Aih, nggak mungkin," timpalnya meremehkan.
"Tapi, kayaknya kak Rian cemburu?"
"Cemburu ke siapa?"
"Ke cewek itu? Nggak mungkin!"
Masih banyak lagi bisikan-bisikan yang Mia dengar di sepanjang koridor. Namun, Mia pura-pura tak mendengar itu.
Besoknya, saat Mia baru saja datang ke kelas ....
"Mi, berita itu beneran?" tanya Kiana minta penjelasan.
"Berita apa?" tanya Mia bingung.
"Yang bilang kamu lagi deket sama kak Farhan," jelas Kiana.
"Hah?" Mia langsung melongo dengan penjelasan Kiana.
"Soalnya sih, aneh aja, nggak biasanya kak Farhan perhatian gitu. Ya, meskipun dia baik sih, tapi itu baru pertama kali," ujar Kiana.
"Apasih?"
"Terus ya, banyak yang bilang kalau kak Rian juga kayak ada sesuatu ke kamu!"
"Kak Rian?" Siapa lagi itu?
"Cowok yang waktu itu marah ke kamu," jelas Kiana.
"Itu gak mungkin!" Mia langsung bergidik ngeri kalau sampai itu terjadi.
"Gak mungkin apanya, orang-orang punya buktinya," seru Kiana.
"Iya itu bener, bukti kalau kamu ada hubungan sama kak Farhan," timpal teman kelas Mia.
"Itu gak ada hubungannya," sebal Mia.
"Kalau emang gak ada, buktiin ke kita!" Teman kelas Mia yang lain, ikut menimpali. Hampir semua perempuan di kelasnya mengerubunginya.
"Buktiin apa?"
"Buktiin dengan kamu ngasih surat ini ke kak Farhan."
"Apa hubungannya?"
"Nggak ada sih."
Ya, terus ngapain nyuruh?
"Cuman kalau kamu nggak mau, berarti kamu memang ada hubungan sama kak Farhan. Kamu ngerasa cemburu karena surat ini."
"Hah?" Dasar aneh!
"Kalau gitu, aku juga, kasih hadiah ini ke kak Farhan. Dari dulu dia selalu nolak."
"Aku juga!"
"E-eh, tunggu dulu!" Kok mereka semua jadi ikut-ikutan sih? Apa hubungannya coba bukti dengan mengirim surat dan hadiah ini.
Meski terpaksa, Mia menurut saja disuruh oleh teman-teman kelasnya. Setelah ia menyimpan tasnya di kursi, ia menuju ke ruang klub basket. Katanya, pagi ini klub basket ada latihan sebelum bel masuk.
"Huh, mereka tuh ada-ada aja ya. Kalau suka ya ... tinggal bilang. Kenapa harus aku yang terlibat sih? Aku nya juga, kenapa mau-mau aja disuruh. Huft!" gerutu Mia mengutuk kebodohan dirinya sendiri.
Ia mencari loker Farhan dan Rian untuk menyimpan barang-barang dari teman-teman kelasnya.
"Gawat!" Mia langsung mencari tempat sembunyi karena mendengar langkah kaki mendekat dengan suara mengobrol.
Ia memilih bersembunyi di gudang. Meski tak tahan dengan aroma dalam gudang, ia tetap bertahan dengan menutup hidungnya dengan kedua tangan. Ia tak mau sampai dipergoki oleh anak klub basket.
"Aku bisa jelasin!"
"Jelasin apa?"
"Kak Farhan? Mereka ...?" Mia mengintip dari celah pintu yang terbuka sedikit.
Tampak Farhan sedang membujuk Rian dengan wajah memelasnya. Ia terus menahan Rian agar tidak keluar dan harus mendengarkan penjelasannya.
"Aku nggak ada hubungan apapun sama dia. Semua terjadi karena aku niat nolongin, nggak ada niat apapun."
"Kok aku ngerasa tahu arah pembicaraan mereka ya?" gumamnya.
"Aku cuman suka sama kamu!"
"Hah?" Mia hanya bisa melotot setelah mendengarnya. Seolah tak percaya apa yang ia dengar, ia dekatkan telinganya ke pintu.
"Dia cuman aku anggap temen." Lagi, Mia masih tak percaya dengan apa yang baru ia dengar dari mulut Farhan.
"Tunggu, maksud kak Farhan apa? Dia suka siapa?" gelisah Mia.
"Rian!"
Mia langsung menutup wajahnya. Tapi karena penasaran, ia mengintip di antara sela-sela jarinya. "Ha? Apa yang mereka lakuin? Me--mereka ci--ciuman? Tapi kan mereka cowok. Ini ... gak mungkin!"
"Kalau gitu, janji ya, kamu gak akan buat aku salah paham lagi."
"Iya, kamu tenang aja, aku janji."
"Ta--tadi ... mereka ...." Mia menjatuhkan dirinya ke lantai. Tak banyak yang bisa ia lakukan selain melongo dengan adegan yang disuguhkan. Bahkan sekarang mereka berpelukan.
Setelah Farhan dan Rian keluar dari ruang ganti klub basket, secara diam-diam ia keluar. Ia membawa kembali barang-barang teman-teman kelasnya yang belum sempat ia simpan di loker Farhan dan Rian. Lagipula semua yang akan ia lakukan sia-sia kan, itulah pikirnya.
"Mi, kamu udah balik?" tanya Kiana antusias. Ia merasa senang karena sepertinya Mia berhasil.
"Gimana? Gimana?" tanya teman kelasnya yang lain. Ia langsung dikerubungi oleh teman-teman kelasnya.
"Kok barang-barang kita dibawa lagi?" heran salah satu dari mereka. Mereka langsung kebingungan kenapa barang-barang yang dititipkan malah dibawa kembali.
"Kalian nggak akan berhasil," gumam Mia memperingati.
"Hah? Maksudnya?" bingung mereka.
"Tahu ah, aku pusing! Jangan minta aku buat ketemu sama kak Farhan atau cowok satunya, apalagi mereka berdua!" kesal Mia pada mereka.
"Ihh, kamu kenapa sih? Gak jelas!" ujar Kiana yang tak mengerti sikap Mia.
"Nih, kalau mau, kasih sendiri!" Mia langsung memberikan barang-barang di tangannya ke tangan Kiana. "Bye, mending aku beli makan," pamit Mia yang membuat teman kelasnya melongo.
Sampai kapan pun ia akan ingat kejadian tadi, tak mungkin ia lupa kan. Pantas saja, baik kak Farhan atau pun cowok satu nya tidak pernah terlihat dekat dengan perempuan, mereka kan saling mencintai, gerutu Mia.